dialih bahasakan dari A Clean, Well-Lighted Place (1933) oleh Ernest Hemingway.
Malam sudah sangat larut dan semua orang telah meninggalkan kafe itu kecuali seorang laki-laki tua yang duduk di bawah bayang daun-daun pohon yang menghadap lampu listrik. Pada siang hari, jalan depan begitu berdebu, tapi pada malam hari, embun meredam debu dan si laki-laki tua begitu menyukai duduk-duduk pada malam larut mengingat ia tuli dan saat malam telah begitu tenang kini kemudian dia merasakan bedanya. Dua pramusaji di dalam kafe tahu bahwa si laki-laki tua itu agak sedikit mabuk, dan meski pun dia seorang pelanggan yang baik mereka tahu bahwa jika dia terlampau mabuk dia akan pergi tanpa membayar sepeser pun, maka mereka tetap mengawasinya.
“Minggu lalu dia mencoba bunuh diri,” ujar seorang pramusaji.
“Mengapa?”
“Dia sedang putus asa.”
“Tentang apa?”
“Bukan tentang apa-apa.”
“Bagaimana kau tahu bahwa itu bukan karena apa-apa?’
“Dia punya banyak uang.”
Mereka duduk berdampingan di meja seberang dinding dekat pintu kafe dan memandang teras di mana meja-meja sudah tidak terisi kecuali meja tempat si laki-laki tua yang duduk di bawah bayang daun-daun pohon yang sedikit melambai tertiup angin. Sosok seorang gadis dan tentara berjalan lewat. Lampu jalan menerangi nomor pangkat di kerahnya. Si gadis tidak memakai apa pun untuk menutupi kepalanya dan agak tergesa menyusul si tentara.
“Patroli akan menjemputnya,” ujar salah satu pramusaji.
“Memang apa pedulimu jika dia mendapatkan apa yang dia cari?”
“Lebih baik buatnya untuk pergi dari sini segera. Patroli akan menangkapnya. Mereka lewat lima menit yang lalu.”
Pria tua yang duduk dalam bayang itu mendentingkan cawan dengan gelasnya. Pramusaji muda lalu menghampiri laki-laki tua itu.
“Apa yang anda inginkan?”
Laki-laki tua itu menengok ke arah pramusaji. “Tambah brandy,” pintanya.
“Anda akan mabuk,” ujar sang pramusaji. Pria tua itu memandangnya. Pramusaji memutuskan untuk beranjak.
“Dia akan di sini sepanjang malam,” kata pramusaji satu kepada yang lainnya. “Aku mengantuk sekarang. Aku tidak pernah menyentuh kasur sebelum jam tiga pagi. Minggu lalu seharusnya dia mati saja.”
Si pramusaji mengambil botol brandy dan cawan lain dari rak di dalam kafe dan membawanya ke meja pria tua. Ia meletakkan cawannya dan menuangkan segelas penuh brandy.
“Kau harusnya sudah mati minggu lalu,” ujarnya kepada laki-laki tua yang tuli itu. Laki-laki tua menggerakkan jarinya. “Sedikit lagi,” perintahnya. Pramusaji menuang ke dalam gelas hingga brandy yang tertuang luber dan mengaliri dinding gelas sampai membanjiri cawan. “Terima kasih,” ujar pria tua. Si pramusaji mengambil kembali botol brandy dan membawanya masuk ke dalam kafe. Ia kembali duduk di meja bersama rekannya.
“Dia sudah mabuk sekarang,” cibirnya.
“Dia mabuk setiap malam.”
“Apa yang membuatnya ingin bunuh diri?”
“Mana kutahu.”
“Bagaimana dia melakukannya?”
“Dia berusaha gantung diri dengan tambang.”
“Siapa yang menurunkannya?”
“Ponakannya.”
“Untuk apa?”
“Takut akan keselamatan jiwanya.”
“Berapa banyak uang yang dia miliki?”
“Dia kaya raya.”
“Dia pasti berumur delapan puluh tahun.”
“Omong-omong, harusnya aku bilang bahwa dia sudah lewat delapan puluh.”
“Aku berharap dia segera pulang. Aku tidak pernah menyentuh kasur sebelum jam tiga pagi. Waktu macam apa untuk tertidur jam segitu?”
“Dia begadang karena dia menyukainya.”
“Dia kesepian, aku tidak. Aku punya istri yang menunggu di ranjang untukku.”
“Dia pernah punya istri juga.”
“Istrinya tidak akan berlaku ramah dengan dia yang sekarang.”
“Tidak ada yang tahu. Barangkali dengan istri dia jadi lebih baik.”
“Ponakannya menjaganya. Kau bilang ia yang menurunkannya.”
“Aku tahu.”
“Aku tidak mau menjadi sebangka itu. Menjadi orang tua adalah hal yang menjijikkan.”
“Tidak selalu. Pria tua ini bersih. Dia minum tanpa cecer. Bahkan sekarang, dalam keadaan mabuk. Lihat.”
“Aku tidak ingin melihatnya. Aku berharap dia segera pulang. Dia tidak punya rasa hormat kepada mereka yang harus bekerja.”
Laki-laki tua itu mengangkat gelas dan menatap nanar alun-alun melalui gelasnya, lalu beralih menengok ke arah para pramusaji.
“Tambah brandy,” pintanya sembari menunjuk gelas. Pramusaji yang sudah habis sabar menghampirinya.
“Sudah,” ujarnya, dengan susunan kalimat sepotong-sepotong yang digunakan awam saat berbicara dengan pemabuk atau orang asing. “Tidak ada lagi untuk malam ini. Tutup sekarang.”
“Tambah,” ujar si laki-laki tua.
“Tidak. Sudah.” Si pramusaji mengelap pinggiran meja dengan handuk dan menggelengkan kepalanya.
Laki-laki tua itu berdiri, pelan-pelan menghitung cawan-cawannya, lalu menarik dompet kulit dari saku dan membayar minumannya, meninggalkan tip sebesar setengah peseta.
Pramusaji melihatnya berjalan menjauhi jalan, seorang pria yang terlampau bangka berjalan sempoyongan namun dengan muruah.
“Mengapa kau tidak membiarkan dia tinggal dan minum?” pramusaji yang senggang bertanya. Mereka sedang menurunkan tirai. “Ini belum jam setengah dua.”
“Aku ingin pulang dan tidur.”
“Apa artinya satu jam?”
“Berarti buatku ketimbang buatnya.”
“Satu jam sama saja.”
“Kamu bicara macam pria tua itu. Dia bisa beli sebotol dan minum di rumah.”
“Tidak akan terasa sama.”
“Tidak. Tentu saja tidak,” balas pramusaji yang beristri setuju. Dia tidak bermaksud untuk tidak adil. Dia hanya sedang terburu-buru.
“Dan kau? Apakah kau tidak gelisah karena pulang sebelum jam biasanya?”
“Apakah kau bermaksud menyinggungku?”
“Tidak, hombre, hanya bercanda.”
“Tidak,” jawab pramusaji yang sedang tergesa, menegakkan badan setelah menarik turun tirai besi. “Aku punya kepercayaan diri. Aku percaya diri sepenuhnya.”
“Kau punya masa muda, kepercayaan diri, dan pekerjaan,” pramusaji yang lebih tua berkata. “Kau punya semuanya.”
“Dan apa yang kau tidak punya?”
“Semuanya kecuali pekerjaan.”
“Kau punya semua yang aku punya.”
“Tidak. Aku tidak pernah punya kepercayaan diri dan aku tidak muda.”
“Ayolah. Berhenti meracau dan mulai mengunci.”
“Aku termasuk kaum yang suka begadang di kafe,” ucap pramusaji tua. “Dengan mereka-mereka yang menghindari tempat tidur. Dengan mereka-mereka yang membutuhkan cahaya saat gulita.”
“Aku ingin pulang dan memeluk bantal.”
“Kita dua jenis yang berbeda,” ujar pramusaji tua. Sekarang ia sudah mapan untuk pulang. “Hal ini bukan melulu tentang masa muda dan rasa percaya diri walau keduanya merupakan hal yang menakjubkan. Tiap malam aku ragu untuk menutup kafe karena barangkali seseorang membutuhkannya.”
“Hombre, toko kelontong buka sepanjang malam.”
“Kau tidak paham. Petak ini merupakan kafe yang bersih dan menyenangkan. Cukup terang. Cahayanya cukup bagus dan juga, sekarang, ada bayang daun-daun.”
“Selamat malam,” ujar pramusaji muda.
“Selamat malam,” balas lainnya. Sembari mematikan lampu listrik ia melanjutkan percakapan dengan dirinya sendiri. Tentu saja karena cahayanya tapi tak kalah penting bahwa panggon ini bersih dan menyenangkan. Kamu tidak menginginkan musik. Tentu saja kamu tidak menginginkan adanya musik. Atau sanggupkah kamu untuk menghadap bar dengan kedigdayaan meskipun hal itu yang disajikan sepanjang malam. Apa yang ia takutkan? Ini bukanlah rasa takut atau jerih. Ini adalah ketiadaan yang ia akrab dengannya. Semua ini adalah ketiadaan dan seseorang bukanlah apa-apa jua. Ini hanyalah itu dan cahaya adalah apa yang dibutuhkan dan seperangkat kebersihan dan aturan. Beberapa ada yang hidup di dalamnya namun tidak pernah merasakannya pun ia paham bahwa semuanya adalah nada y pues nada y nada y pues nada. Nada kami yang bersemayam dalam nada, nada menjadi nama kerajaan nada-mu akan menjadi nada dalam nada sebagaimana semayam nada. Berilah kami nada ini dalam keseharian nada kami dan nada milik kami nada kami sebagaimana kami nada nada-nada kami dan nada milik kami tidak terlibat dalam nada namun hantarkan kami dari nada; pues nada. Sembah kehampaan penuh ketiadaan, kehampaan ada bersamamu. Ia tersenyum dan berdiri di balik bar dengan sebuah mesin kopi bertekanan uap yang mengkilap.
“Apa yang kau inginkan?” tanya barista.
“Nada.”
“otro loco mas, lagi-lagi orang gila” ujar barista dan melengos.
“Secangkir kecil,” jawab pramusaji.
Barista menuangkan yang dipinta untuknya.
“Cahayanya sangat terang dan menyenangkan namun barnya tidak digosok,” komentar pramusaji.
Barista melirik ke arah pramusaji namun tidak menjawab. Sudah terlalu larut untuk terlibat dalam percakapan.
“Kau ingin tambah copita, segelas lagi?” tanya barista.
“Tidak, terima kasih,” jawab pramusaji dan beranjak keluar. Ia tidak menyukai bar dan toko kelontong. Sepetak kafe bersih dan terang merupakan hal yang lain. Sekarang, tanpa berpikir panjang, ia kembali menuju ke kamarnya. Dia akan berbaring di atas kasur dan akhirnya, bersamaan dengan pagi hari, ia akan pergi tidur. Bagaimanapun, katanya pada dirinya sendiri, hal ini cuma insomnia. Banyak yang menderitanya.





Leave a comment