Idealisme dan Imajinasi

Idealisme dan Imajinasi

Diterjemahkan dari esai Léopold Lambert dalam THE FUNAMBULIST PAMPHLETS///VOLUME 6: PALESTINE.

Terinspirasi dari percakapan barusan dengan kawan baikku Nora mengenai pengambilan suara yang digelar PBB terkait Wilayah Daulat Palestina, aku terpikir sesuatu soal idealisme dan imajinasi. Intinya, Nora menjelaskan bahwa idealis macam dirinya tidak akan mungkin terpuaskan dengan keputusan ini. Sebagaimana yang kita semua tahu, pengambilan suara ini menegaskan pembatasan-pembatasan pasca 1967 dan menghindari masalah utama yang timbul akibat pemisahan teritori antara Gaza dan Tepi Barat, mengabaikan hak pengungsi untuk pulang begitu pula dengan hak menuntut dalam pengadilan, serta mengafirmasi ulang dukungan untuk Wilayah Kekuasaan Palestina, yang tidak punya legitimasi elektoral, sejak berakhirnya kabinet pemerintahan pada tahun 2009. Apa yang Nora jabarkan, bagaimana pun, adalah kekecewaannya akan isu-isu luar biasa yang disampaikan dengan solusi yang biasa saja, masalah-masalah yang tidak punya kemiripan yang persis dalam sejarah disampaikan melalui tanggapan-tanggapan yang telah dilakukan pada masa lampau. Selalu ada ruang untuk imajinasi, klaimnya, untuk menemukan sebuah bentuk baru demokrasi untuk negara pasca apartheid, apa pun namanya kelak di masa depan.

Mengingat bahwa aku sendiri sepakat dengan tesis ini, hal ini mengingatkanku pada jawaban yang terus berulang kali muncul ketika kita mengumandangkan sebuah ideal. “Hal ini tidak dapat dicapai,” adalah yang sering kita dengar atau, “itu tidak akan pernah terjadi.” Bagaimana pun, menjadi seorang idealis tidak benar-benar berarti bahwa situasi ideal ini dapat tercapai, namun, menjadi seorang yang idealis adalah melakukan persentuhan terus menerus dengan perjuangan untuk menciptakan situasi ideal ini, dengan cara yang sama sebagaimana seseorang ingin mencapai ufuk demi terus bergerak maju.

Imajinasi adalah apa yang tidak dimiliki oleh orang-orang sinis. Penting untuk memisahkan antara imajinasi kreatif dan imajinasi yang dikomunikasikan melalui iklan dan slogan-slogan industri Hollywood, yang tertulis di atas sampul pesan, seperti, “tidak ada yang tidak mungkin,” mengulangi versi yang sama nan terbatas dari sebuah cita-cita yang pasti tercapai. Slavoj Žižek sering berpendapat bahwa kapitalisme berhasil membuat kita percaya bahwa akan lebih mudah tinggal di Mars ketimbang mencari alternatif dari kapitalisme itu sendiri. Membayangkan tinggal di Mars sama sekali tidak sulit, jika kita cukup mengubah hidup keseharian kita di bumi dengan latar belakang merah dan baju luar angkasa. Apa yang sangat sulit dibayangkan dan maka dari itu pantas untuk menjadi perhatian betul-betul, adalah membayangkan model masyarakat lain yang berubah secara radikal dari model yang kita tahu.

Imajinasi telah dipenjara kapitalisme, tidak dalam cara sebagaimana rezim diktator menyensor dan mencegahnya, tapi dengan membuat kita semua berpikir bahwa apa yang kita lihat dalam keseharian adalah produk imajinasi, ketika sesungguhnya, semua datang dari sistem produksi ide yang sangat sama. Orang-orang pada akhir abad ke-20 mengidap ketakutan akan utopia, karena utopia tampak sebagai mesin utama dari kekacauan abad ini, tapi ingat pula bahwa ketakutan ini sama salahnya sebagaimana anggapan bahwa imajinasi telah terkurung pula oleh kuasa-kuasa dominan yang beragam dan telah berupaya pontang-panting untuk mencapai ufuk (kita dapat mengingat auto-da-fé Nazi pada 1933 dan penyensoran di bawah Soviet, sebagai contoh). Kita harus, tentu saja, menahan diri dari segala bentuk penindasan sebagaimana kita menjauhi atmosfer sinisme mengenai suatu era yang mendeklarasikan dirinya sendiri secara delusional “pasca-ideologis.” Imajinasi merupakan bahan bakar kreatif untuk perjuangan, mohon jangan dengan mudah mengabaikannya.

21 Desember 2012


Discover more from Kasat Kata Kultur

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a comment