Lingkar

Lingkar

Sakit kepala berdentam-dentam menghajar pagi hariku. Mataku yang baru setengah terbuka terpaksa dibuat calang oleh migrain yang menghentak. Aku berusaha mengingat-ngingat apa yang membuat sepusing ini sepagi itu. Setelah mencuci muka, Aku memegangi kepala yang masih berdenyut-denyut dan perut yang terasa perih. “Sial,” gumamku, “hari ini ada meeting pula.”

Pagi itu aku bergegas menuju kantor. Aku masih terlalu sibuk dengan sakit kepala untuk memperhatikan bahwa jalan terlampau lengang dan berkabut pada jam-jam yang terbilang sibuk. Kutancap pedal gas membelah kota satelit di timur menuju pusat kota.

Lobi terasa kalut sekali. Satpam gedung yang biasa menyapa ramah kali ini memandang kosong sembari berkomat-kamit, entah apa yang dikomat-kamitkan. Aku mengernyit, memutuskan untuk tidak peduli karena sakit kepala masih menemani. Kutenggak aspirin dari laci P3K kantor, kemudian masuk ke kubikel. Denyut-denyut masih terasa di belakang kepala.

Aku masih membereskan berkas-berkas ketika aku melongok ke luar jendela. Pukul sepuluh pagi di pusat kota di musim kemarau, harusnya tidak seberkabut ini. Aku akhirnya berusaha mengingat-ngingat apakah kota mengalami hujan belakangan ini, atau apa yang kuminum semalam sehingga sakit kepala mencengkeram tempurungku. Tinggal satu jam lagi sebelum meeting, aku mengusir perkara tidak penting di kepala dan bergegas menenggelamkan diri ke berkas-berkas. Perutku kembali terasa perih dan aku melongok ke luar jendela.

Sementara, langit di atas kota meredup. Mendung yang menaungi langit-langit kota bergerak melintang diterpa angin, meninggalkan awan yang tersaput. Awan laiknya sisik-sisik dengan garis perak dan pelangi di tiap lengkungnya. Warga miskin kota memandang takjub, sementara pekerja eselon tinggi yang memilih memandang langit ketimbang bekerja memandang gelisah dan takut. Pagi itu, seperti ada ular yang melata di langit kota.

Aku memasuki ruang meeting dan mendapati para supervisor berbisik-bisik kalut. Aku baru saja berniat mencuri dengar, ketika para supervisor justru terdiam lalu memandangnya gugup. Aku mengernyit, sudah dua gelagat aneh kutemui sebelum jam makan siang. Aku mengedikkan bahu tidak peduli kemudian bertanya kepada para peserta meeting, “Selamat pagi, bapak-bapak. Sudah siap meeting hari ini?”

“I…iya.”

“Jadi, pada kuartal pertama ini…”

Ada yang berdenging di kepalaku. Peluh dingin meluncur di dahi dan leherku. Desis lamat-lamat terdengar di belakang kepalaku. Sakit kepala kembali berdentam-dentam. Semua hal yang kuindrai terasa begitu besar namun begitu kecil, begitu lumpuh namun begitu peka. Pandanganku seperti tersiram darah sementara aku merasa hilang kendali atas apa yang kuucapkan. Kutengok langit kota lewat jendela ruang meeting.

Kabut semakin tebal di tengah-tengah kota. Awan bersisik turun semakin dekat ke lantai-lantai bawah pencakar langit. Di balik kabut, setiap warga miskin kota melilitkan apa pun yang melingkar pada perut mereka. Dengung komat-kamit memenuhi ruang-ruang kumuh dan ruang-ruang produksi di pabrik-pabrik.

Aku kembali tersadar dan ambil kendali atas tubuhku ketika kulihat para peserta meeting memandangku kalut. Ada kepasrahan dan ketakutan pada air muka mereka. Aku berdeham, berusaha mengabaikan denging dan desis lirih di kepala. “Pada akhirnya, proyeksi untuk kuartal keempat pada kuartal dua berjalan…” Aku mulai limbung, desis lamat-lamat melantang, seperti berusaha mengajak bicara batinku. Kelimpungan, aku melihat bagian bawah kemejaku yang rembes oleh darah keluar dari luka melintang di perut.

Aku merobek lengan kemeja, lalu melilitkan perca itu pada perut yang terus merembeskan luka. “…dapat diprediksi bahwa bea beban akan lebih banyak dari urusan supply and demand,” lanjutku. Sementara kegetiran turun di wajah para peserta meeting. Aku tersenyum, “Sekarang, bapak-bapak bisa baca berkas yang sudah saya kasih.” Para peserta meeting takut-takut membolak-balikkan halaman. Tangan-tangan mereka tampak gemetar, rahang-rahang mereka tampak mengeras. Satu dua menggemeretukkan gigi, hampir-hampir terdengar seperti bongkah dan mengunyah gusi. Aku melanjutkan presentasi. Dari jendela, kulihat langit dan lantai kota memerah.

Pabrik-pabrik di lingkar tepi pusat kota terbakar. Potongan-potongan kepala yang tampak klimis terpancang di pagar-pagar pabrik. Komat-kamit tidak lagi terdengar seperti bisik-bisik. Desis begitu lantang terdengar di penjuru dan pelosok kota. Kabut menebal, sisik-sisik di awan kini tampak sejajar dengan pandangan mata. Siang itu, seperti ada ular yang melata di jalan-jalan kota.

“Jadi, ada yang ditanyakan dari bapak-bapak sekalian?” aku bertanya kepada para peserta meeting yang gemetar dan membeku di kursi masing-masing. Aku baru saja menuntaskan presentasi ketika kuambil cutter dari tumpukan alat tulis kemudian menggoreskan luka melintang mengelilingi dahiku. Lengan kemejaku yang utuh tinggal sebelah, sementara tanganku sibuk meluruskan dasi. “Tidak ada? Well, sekarang apakah saya bisa minta bapak-bapak untuk menengadahkan tangan?”

Para peserta meeting perlahan dan gemetar menengadahkan tangan mereka. Mereka semua terpaku, seperti tidak punya pilihan selain patuh. Aku mulai berkeliling dengan cutter di tangan dan rembesan darah di wajah dan perut. Mulutku komat-kamit, dengan sesekali terdengar suara desis. Setiap tangan yang tengadah di ruang meeting itu, kugores dengan cutter mengikuti garis tangan. Dua belas peserta meeting, dua belas pasang tangan yang mulai mengucurkan darah. “Baik,” ujarku, “sekarang bapak-bapak bisa melipat jari bapak-bapak sekalian ke telapak tangan. Pastikan kuku tangan bapak-bapak ada di bawah kulit telapak tangan, ya!” Kuacungkan cutter yang meneteskan sisa darah ke arah jendela yang mulai berjelaga.

Jalan lingkar kota dipenuhi kabut dan asap. Setiap jalan keluar dari kota diblokade pagar yang dibuat oleh pasak-pasak dengan kepala-kepala di ujungnya. Kota begitu senyap, selain suara desis dan komat-kamit yang digelar oleh warga dan buruh dengan mata yang kosong. Semua tampak seragam, dengan luka yang melingkari kepala dan melintang di perut. Tidak ada sirene, tidak ada letusan, hanya suara letupan sesekali dari plastik dan besi yang terbakar. Sesekali terdengar teriakan yang disusul dengan suara tersedak. Satu lagi kepala dengan tampilan klimis terpancang.

“Bapak-bapak, di kuartal kedua ini, baiknya tidak terlalu optimis soal kuartal keempat. Dia-Yang-Melata-di-Keabadian sudah ada di kota ini, surplus value para pekerja yang biasa bapak-bapak timbun bisa diambil lewat darah dan nyawa bapak-bapak sekalian. Jika memang tidak ada pertanyaan, bapak-bapak bisssa tunggu di sssini dengan tangan tengadah yang merembessskan darah dan kuku-kuku yang tertanam. Rekan-rekan buruh sssebentar lagi sssampai ke lantai ini untuk memancang kepala bapak-bapak di pagar gedung,” ujarku sembari menggoreskan cutter ke telapak tangan sendiri.

“Sekian presentasi dari saya. Semoga bapak-bapak terlahir kembali di sela-sela kelaparan yang tuntas dengan kenyangnya sendiri.”

***

Breaking news! Kota-kota besar padat industri di seluruh dunia dikuasai oleh terduga para penganut sekte. Beberapa petinggi eselon atas, komisaris, dan manajemen tingkat atas dilaporkan menghilang. Kami tidak dapat menayangkan dan melaporkan keadaan dari dalam kota: koresponden dari dalam kota sampai saat ini tidak dapat dihubungi, dan kami kesulitan memasuki wilayah kota karena setiap jengkal pintu masuk kota dijaga oleh terduga para penganut sekte. Ciri-ciri penganut sekte ini mudah dikenali dengan sesuatu yang melilit perut mereka dan rembesan darah dari luka yang mengelilingi dahi mereka. Terduga beberapa provokator merupakan warga daerah satelit di bagian timur serta kantong-kantong kumuh tiap-tiap kota. Para serdadu gabungan, ilmuwan, dan jurnalis saat ini mendirikan fasilitas di luar kota-kota tersebut. Saat ini, belum banyak informasi tambahan yang beredar selain yang sudah kami laporkan. Ikuti kami untuk perkembangan selanjutnya.”

Klik.


Discover more from Kasat Kata Kultur

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a comment