Anxiety is the mood par excellence
— Avital Ronell
Krisis iklim, kekerasan oleh negara, patriarki, pemerintahan yang korup, neoliberalisme; adalah tidak sedikit penyebab kecemasan kiwari. Trauma, kesendirian, isolasi, keterasingan, rasa rendah diri; sebermulanya adalah patahan antara yang-seharusnya dari benak dan yang-terjadi di depan mata. Tentu, patahannya cukup curam sehingga ujar, “yaudahlah ya,” tidak lagi cukup menyemat kedamaian dalam alam sadar. Jika realitas saat ini adalah manifestasi olah pikir solipsis raksasa di pagar kosmis, betapa menyebalkan jaringan neuron kepala selestial ini.
Sejarah tidak meminta diulang, tapi manusia adalah makhluk uji-dan-gagal yang pendek ingatan. Tragedi demi tragedi tentu tidak lahir dari rahim kehampaan, ada kondisi kesejarahan material yang menyusun balok dan beloknya. Seringkali, yang mengalami pendek ingatan adalah mereka yang berlutut di kursi hegemoni: mengisi ulang setiap tragedi, setiap kecelakaan, setiap kebodohan yang mendefinisikan zaman dan pamungkasnya, (peradaban) manusia itu sendiri. Siapa lagi—akhir-akhir ini, jika bukan mereka yang disebut presiden/wakil rakyat/CEO/orang dengan berbagai macam varian kuasa, yang melarutkan kecemasan dalam setiap psyche sebagian besar (sisa) manusia?
Maka, kecemasan di era seperti ini adalah valid—malah, default. Kutipan pengantar tulisan ini yang dicatut dari jawaban wawancara oleh Astra Taylor di Examined Life (2005) bukan lagi sugesti maupun asumsi, melainkan pernyataan deskriptif yang menelanjangi kejiwaan manusia kapitalisme mutakhir.
Berada di tengah dengung otomasi, dan kosadengung semacam ‘disrupsi’ dan ‘empat titik nol’ yang dikumandangkan rezim, tidak menyelamatkan imajinasi mengenai kemudahan hidup—sebagaimana yang otomasi idealnya lakukan. Kepala terus menerus membayangkan distopia: pengawasan, penyeragaman selera, keruntuhan penyangga metropolis, dan kerumitan akses. Bung Besar bukan lagi mitos dari kegelisahan Perang Dingin; 1984 karya benak Orwell barangkali sudah masuk rak ‘terkini’ dan ‘nonfiksi’ alih-alih ‘cerita khayal’ alias fiksi.
Baiklah, mungkin kecemasan ini berlebihan.
Atau, tidak?
Ada yang tidak jenak mengenai kecemasan yang (di)wajar(kan) ini, bahkan kecemasan sebagai kerocetan mental. Dalam sesi-sesi konseling, kecemasan sebagai gejala neuroatipikal seringkali disembuhkan dengan mantra ‘penerimaan’. Saran profesional ini, didukung pula oleh bacaan self-help yang belakangan menghimpun kemasaman nihilisme semu; apalagi, karena menjadi fatalis sudah tidak bekerja lagi. Jenis buku ini laku terjual, lebih-lebih dengan sematan umpatan di kulit muka.
Bukan berarti ‘penerimaan’ harus ditolak begitu saja; penerimaan akan (konsep) diri adalah baik dan menarik. Setidaknya, dengan penerimaan macam ini, diri dapat ditata ulang di tengah kecarutmarutan isi kepala. Namun, tidak jenak rasanya jika konsep penerimaan ini pada akhirnya digunakan untuk legawa dengan sistem. Kemarahan yang mampu disusun melalui penerimaan diri, bisa buyar dan sama sekali padam dengan mengasingkan manusia dari kecemasannya sendiri. Pada akhirnya, diri kemudian entah bergelung dengan ketidakacuhan yang masam atau menjadi milisi status quo. Terasing dalam perannya sebagai gir dari mesin realitas, terbisukan dari kemarahan yang meletup-letup akan ketidakadilan.
Kecemasan adalah wabah. Kapitalisme mutakhir kini telanjang bulat dengan kegenitan ideologisnya. Kemarahan-kemarahan disumbat: terang-terangan oleh yang punya peluru, sembunyi-sembunyi oleh yang punya modal. Jamak ditemui betapa—misalnya, feminisme dan gerakan lingkungan di(n)akali oleh para pemilik moda produksi. Betapa perlawanan dikerdilkan dalam iklan minuman bersoda yang dibintangi Kendall Jenner. Ketimpangan dan urusan ekologi tidak dibereskan; yang punya kuasa mencuci tangan dengan nurani yang berdarah-darah.
Menjadi tahu dan cemas karenanya adalah kondisi abadi sebagai konsekuensi etis. Betapa informasi kini lebih viral dari virus, menularkan kecemasan dengan kecepatan megabit per detik. Wabah adalah istilah paling sopan, untuk tidak menyebutnya psikosis berjamaah. Dalam kondisi ini, kecemasan adalah pengaturan dasar kemanusiaan. Mungkin kita bisa mangkat dari keadaan menyeramkan ini, atau terdorong ke lembah gelap kemunduran.
Atau mungkin, saya saja yang terlalu sinis dengan saran psikolog dan memutuskan untuk hidup berkalang rasa cemas.





Leave a comment