Sesekali sosok persegi dan bayang benda-benda muncul di sisi pandang. Setiap kali aku menengok, sosok tersebut kabur dan denyut rasa sakit menghantam sesuatu yang kurasa adalah kepalaku.
Hanya bintik putih di ufuk yang tampak terang, dan setiap langkahku terantuk benda yang kembali menghilang dan samar ketika kuperhatikan. Baiklah, kupikir, aku harus terus berjalan menuju titik putih. Kurasakan kakiku menatah kegelapan perlahan-lahan.
Setibanya di ufuk, semua yang samar semakin memudar. Seperti bias cahaya yang menembak ruang yang berkalang tahun tidak disentuh cahaya. Aku menyipitkan apa yang kukira kedua belah mataku, mencoba menangkap apa pun yang bisa kukenali.
Aku mendapati sosok yang kukenali sebagai diriku dan seonggok sosok lain. Mereka tampak berhadapan, sepertinya sedang berbincang. Aku hanya menangkap desau seperti cemeti yang tercambuk dari kejauhan. Aku pun mendekati dua sosok tersebut.
Astaga, keduanya sedang membincangkan aku. Aku sedang membincangkan aku bersama sosok lain yang tidak kukenal. Kini aku berhadap-hadapan dengan sosok aku dan si asing. Mereka melemparkan pandangan mereka dengan alis terangkat, “kau memutuskan bangun, akhirnya,” ujar sosokku. Aku terhenyak bingung, “memutuskan? Aku bahkan tidak mengingat apa pun. Aku ke mari karena dorongan belaka.”
“Tidak ingat barang sedikit pun?”
“Aku mengenali benda-benda tentu saja, tapi semua kembali samar ketika kuperhatikan.”
“Kau pikir kau ada di mana?”
“Aku tidak tahu.”
“Tidak tahu barang sedikit pun?”
“Tidak.”
“Adakah kau mengenali aku?”
“Mungkin. Bukankah kau adalah sosokku?”
“Benar, tapi aku bukanlah kau.”
Astaga, aku membatin, apa pula ini. Aku memijat apa yang kuduga adalah dahiku, berusaha mencerna kejadian ini. “Lalu kau adalah apa?” tanyaku. Sosok aku tercenung, kemudian menjawab dengan wajahnya yang mendung, “aku adalah serpihmu.”
“Serpih?”
“Semacam jiwa, sebagian menyebutnya ingatan.”
“Apakah aku sudah mati?”
“Eh, tidak terlalu.”
“Eh?”
Sosok asing yang dari tadi diam mendengarkan kemudian menyela, “kau ada di wilayah antara.” Sosok asing ini sebenarnya aneh pula; kadang-kadang tampak sebagai wajah bertudung, kadang-kadang bersayap, kadang-kadang bersetelan. Senyumnya tampak hilang dan samar seakan mulutnya tidak yakin untuk berada di wajahnya.
“Wilayah antara, ya?” gumamku.
Sosok aku dan si asing mengulum senyum. Aku berusaha mengingat-ingat tentang wilayah antara. Sial, setiap kali aku memperhatikan dan mengingat, apa yang kurasa sebagai kepalaku terus menerus berdenging. Rasanya seperti menabrak dinding suam yang tak terlihat. Si asing terkekeh menatapku, “kamu adalah sebuah ketidak purnaan,” ujarnya, “sekarang, aku ingin menghantar sosokmu yang lain ini ke wilayah lain.”
“Lalu, aku harus apa?”
“Cobalah mengingat.”
Dibawanya sosok aku ke terang putih di ufuk sana, meninggalkan aku yang berusaha mengingat soal indra. Benda-benda mulai tampak jelas seiring dengan denging yang terus-menerus menempa bagian yang kupikir kepalaku. Aku tidak peduli. Aku ingin mengindrai.
Kemudian, kulihat sosok yang kukenali sebagai jari jemari memegang pipet di ruang putih pucat.
***
“Kau yakin belum meneteskan apa pun?”
“Yakin.”
“Lalu ada apa dengan bintik hitam itu? Kau tahu eksperimen kita sudah terlalu mahal untuk merusak sel jaringan otak di atas preparat.”
“Tidak tahu…astaga, lihat!” Bintik hitam itu memutari cawan preparat. Salah seorang di antara mereka menyorot bintik hitam itu dengan senter. Bintik hitam itu mengerut.





Leave a comment