Tenunan terbaik telingkung ini datang dari jari-jemari Ratna. Serat yang ia pintal dengan halus, kemudian bertumbuk lentiknya buku-buku jemari. Tembang benang bertaut begitu merdu, sementara lengan Ratna begitu luwes merapatkan lungsin dan pakan laiknya menari. Setiap lintang kain tenunnya tampak gemilang, setiap bujurnya tampak begitu jujur. Aduh, betapa cantiknya setiap bentangan kain tenun Ratna.
Tenunan terbaik telingkung ini datang dari jari-jemari Ratna. Perihal ini tidak terbantahkan lagi. Kamu bisa tanya pengayun kayuh di biduk tepi sungai hingga tukang kayu di tepi hutan. Kata mereka, kain tenun milik Ratna selalu bercerita. Cerita-cerita yang disampaikan kain tenun itu sering dibacakan para orangtua sebelum anak-anak terlelap. Ketika mata anak-anak sudah terpejam, kain tenun itu kemudian menyelimuti kesahajaan mimpi-mimpi mereka. Bukan main memang kain tenun karya tangan Ratna.
Tenunan terbaik telingkung ini datang dari jari-jemari Ratna. Setiap pagi, kamu bisa melihatnya bersenandika di beranda dengan jarum-jarum tenunnya. Setiap pagi, Ratna tampak seperti dewita yang menatah firmannya pada benang-benang yang tunduk. Namun, seberapa besar usahamu untuk terpana, kamu tidak akan bisa jatuh cinta. Jatuh cintamu itu duniawi belaka, Ratna yang jelita tidak bisa kamu jatuhi dengan perkara cinta. Kamu bisa lihat, urusan dengan Ratna rasanya terlampau ilahi untuk jiwamu yang penuh dengan perkara dunia.
Tenunan terbaik telingkung ini datang dari jari-jemari Ratna. Telingkung ini tidak punya dewata lain. Kami berniaga baik-baik saja tanpa dewata. Kami hidup sahaja dan bahagia tanpa urusan-urusan surga. Kamu tahu, kami sudah membangun surga kami sendiri. Surga kami laiknya surga-surga lain di tepi sungai dan tepi hutan. Kami cukup dan lapang. Pembedanya, kami punya Ratna.
Tenunan terbaik telingkung ini datang dari jari-jemari Ratna. Oh, betapa kabar itu sudah sampai ke telinga para dewata. Kabarnya, tenunan Ratna punya kualitas lebih baik dari tenunan para penghuni surga. Ratu para dewata sampai gusar dibuatnya! Adina, ratu para dewata, sampai turun dari surga! Beliau sambangi telingkung kami, melihat dengan mata kepala sendiri cara Ratna menenun. Di antara kami yang memandang kagum kerja sunyi Ratna dalam diam, Adina menghardiknya, “Tak bisakah kamu akui bahwa kerjamu adalah jerih payah dewata?”
Kami semua menoleh ke Adina, kemudian berpaling kepada Ratna yang dengan anggun meletakkan jarum tenunnya. “Bunda Adina, saya sudah tidak melihat kehadiran dewata berkalang tahun di telingkung ini. Dari mana klaim perkara jerih payah para warga langit ini berasal?” tanya Ratna.
“Tiap-tiap yang ada di bawah bukankah selalu turun dari atas?” balas Adina.
“Bukankah selalu ada yang bisa tumbuh dari bawah?”
“Iya, atas restu surga.”
“Kami rasa, kami sudah mendapat restunya.”
“Kamu belum di surga.”
“Kami telah ciptakan surga kami sendiri di telingkung ini.”
Kepala kami bergeleng-geleng mengikuti keributan ini. Wajah kami terpaku pada kerasnya air muka Adina, kemudian wajah kami terpaku pada raut tenang Ratna. Adina muntab. Ditantangnya Ratna, “Aku menantangmu untuk menenun. Satu lawan satu, di tepi hutan, esok sore.” Ratna tersenyum, “Baik, Bunda Adina. Mari buktikan bahwa tenunan terbaik telingkung ini datang dari jari-jemari saya belaka.”
Kamu lihat, maka urusan ini menjadi pelik belaka. Kami yang menonton pertikaian itu terkesiap. Benar bahwa tenunan terbaik telingkung ini datang dari jari-jemari Ratna, tapi melawan dewata?
Tibalah hari di mana Ratna bertanding tenun dengan Adina. Kami menontonnya dari pinggir. Ratna mengeluarkan seratnya yang putih dan jarum kayunya, bersiap menenun kain terbaik telingkung ini. Adina mengeluarkan seratnya yang emas dan jarum emasnya, bersiap menenun kain yang bersaing dengan kain terbaik telingkung ini. Hari telah petang, dan benang-benang kemudian bertumbuk. Helai demi helai mulai membentang, mengandung dengan cerita dan bersolek dengan motif.
Astaga, coba kamu lihat, kain tenun Ratna kali ini begitu berani. Kainnya bercerita soal raja para dewata yang doyan main tangan, main mulut, dan main mata dengan kaum kami. Sungguh, kain itu punya cerita yang indah untuk dilihat, tapi tidak untuk didengar anak-anak kami. Adina geram, kain tenunnya tidak bercerita apa-apa dan buruk rupa. Dirobeknya kain sendiri, plak plak plak! Ditamparnya Ratna tiga kali. Terguncang, Ratna kemudian menyaksikan Adina merobek-robek kain miliknya. Kami yang menonton saja begitu jerih melihatnya.
Tenunan terbaik telingkung ini datang dari jari-jemari Ratna. Sudah berhari-hari kami tidak melihat jelita kami itu menenun di beranda. Hingga suatu siang, kami melihat Ratna membuat simpul. Ah, semoga Ratna tidak menggantung jarumnya dan berakhir dimakan serangga.





Leave a comment