“Semua serial garapan Michael Schur selalu berpusat pada lingkungan kerja. Even The Good Place, yang premis Bangsian-nya pun tidak jauh dari tanggung jawab untuk menyelesaikan beberapa tugas, i.e Michael untuk bereksperimen dan giving literal hell to four super hot humans. Pun intended,” jelas Ams.
“Tanpa pembacaan berlebihan pun, kupikir tempat kerja sebagai latar serial komedi sudah merupakan sebuah gebrakan intragenre yang dipenuhi oleh dinamika pertemanan atau keluarga, macam Friends, How I Met Your Mother, Fresh Prince of Bel Air, Malcolm in the Middle, and you guessed it, Big Bang Theory,
“Pun dengan begitu, it doesn’t mean they lack of romance and/or familiar proximity. Hal-hal begitu kena bahas juga di The Office, Parks and Rec, The Brooklyn Nine-Nine, dan The Good Place. In fact, romansa adalah plot utama dari The Good Place. Untuk yang lain, bisa dibilang hingga karakter utamanya menikah, romansa adalah panglimanya,
“Pula dengan drama keluarganya. Semesta kecil yang dihadirkan serial-serial ini tidak menghadirkan karakter yang timbul tenggelam due to lack of coherent storytelling and/or vast conceptual universe macam Key and Peele atau Rick and Morty. Serial-serial garapan Schur juga membahas masalah keluarga; sebagai materialitas kemenjadian dan perkembangan para karakternya,
“Nah, balik lagi. Kupikir adalah langkah jenius dari Schur untuk menggunakan lingkungan kerja sebagai latar bagi premis-premisnya. Walau, ya, tidak orisinil: The Office besutan Schur adalah usaha adaptasi dari serial berjudul sama yang mengudara di Inggris dan dibikin oleh Ricky Gervais. Tapi, sebagai pembelaan, ide Gervais dikembangkan oleh Schur sedemikian rupa dan menjadi formula efektif dan bagus untuk comedy series,
“Kupikir, menjadikan lingkungan kerja sebagai latar premis mungkin saja diletakkan di bawah lensa commentary. Ada lapisan kritik mengenai betapa kapitalisme mutakhir menggeser apa yang familiar dalam humor keseharian kita, dari lingkar pertemanan ke lingkar kawan kerja. Dan ironisnya lucu aja sih, betapa serial komedi yang sebagian besar terjadi di lingkungan kerja, ditonton oleh orang-orang yang menghamba pada pekerjaan di sela-sela penghambaannya.”
“Iya ya, tapi lebih lucu lagi kalo ditonton para pekerja saat mereka bekerja. Eskapismenya meta: melarikan diri dari pekerjaan dengan melihat orang lain bekerja, walau ya pura-pura bekerja dan dilapisi oleh genre canda,” tanggap Mae.
“Betul. Hihihi,” ujar Ams, terkekeh. “Soal kerja ini juga belum selesai. Banyak punchline-nya yang cukup spesifik dan melibatkan pengetahuan akan pekerjaan terkait. Namun, hal ini tidak menjadikan candaan mereka esoteris, awam tetap bisa tertawa, tapi yang bergelut di bidang terkait bisa tertawa lebih keras. Penulisan humornya terlihat cukup ketat, hence berlapis-lapis. Malah, dalam keterlepasan episode sebagai teks pasca mengudara, para penggemar bisa saling memberi trivia dan mengedukasi satu sama lain,
“Satu lagi. Struktur yang notabene hierarkis dalam dunia kerja, dijungkalkan sedemikian rupa dalam penulisan humor serial-serial Schur. Dalam teori humor, ada teori superioritas dan teori pelepasan. Teori superioritas—yang membangkitkan gelak dari melakukan perendahan status, cukup dominan dalam semua serial komedi, utamanya dalam karakterisasi serta lakon, misal dengan adanya karakter si pandir yang digambarkan satu dimensi dan selalu menjadi objek superioritas. Istimewanya, semua karakter Schur tidak ada yang satu dimensi, bahkan untuk lakon si pandir. Si pandir yang secara stereotipikal bawahan dalam berbagai kesempatan mampu menginjak-injak atasannya, tanpa merusak mitos-mitos kuasa mengenai atasan yang mampu memecat si pandir ini. Humor-humor ini adalah manifestasi teori pelepasan pula,
“Barangkali, kepantasan politik alias political correctness memainkan peran dalam keputusan penulisan karakter, tapi penulisannya begitu halus sehingga sulit bagi kita sebagai penonton untuk tidak bersimpati atau merasa terhubung dengannya. Dan ini baru soal karakter dan latarnya, ini belum dengan berbagai episode yang plotnya mempunyai lapisan kritik atas kasus-kasus lazim maupun khusus.”
“Tell me more. What about it?” tanya Mae.
“Iya bentar, minum dulu,” jeda Ams sembari menuangkan air putih.
“Anyway,” lanjut Ams, “Setiap serial garapan Schur punya premis kerja—pun also intended, yang menarik untuk dibongkar. The Office berpusat pada kantor pemasaran perusahaan kertas, Parks and Rec pada dinas pariwisata kota kecil dan ultimately pemerintahan negara bagian, Brooklyn Nine-Nine pada sektor kepolisian, dan The Good Place pada lingkungan eksperimen dan birokrasi. Semuanya menyajikan tantangan-tantangan tersendiri, utamanya soal konstelasi lingkungan kerja sebagai sebuah institusi yang bersinggungan dengan institusi lain. Atau, dalam ilmu politik, soal persinggungan aktor yang saling memengaruhi: The Office sebagai swasta, Parks and Rec sebagai pemerintah, Brooklyn Nine-Nine sebagai aparatur, dan The Good Place sebagai akademisi dan birokrasi,
“Sebagai pondasi premis, insitusi yang menjadi latar serial ini tidak lepas dengan masalah-masalah esoteris; gampangnya, sebagai contoh, bagaimana swasta menyoal filantropisme, pemerintah soal kontestasi ideologis dengan warga dan bagaimana mengatur ruang publik, aparatur soal penegakan hukum dan keadilan secara aksiologis, serta akademisi soal kebenaran epistemik dan urusannya dengan birokrasi. Pondasi premis yang disajikan oleh serial-serial ini lalu ditulis dengan kasus-kasus khusus i.e episode #MeToo di musim keenam Brooklyn Nine-Nine, yang menjadikan pelapisan humor sebagai pilihan genre semakin istimewa. Humor-humor Schur menolak dangkal, semakin istimewa karena kontekstual.”
“Tapi, humor-humor The Office banyak yang homofobik, Parks and Rec sama Brooklyn Nine-Nine melibatkan bodyshaming…” gugat Mae.
“Benar, but here is the thing. Humor, sebagaimana banyak teks, tidak bisa dilepas dari wacana di sekitarnya. Terkhusus humor, kelucuan yang bisa dihukumi subyektif pun tidak bisa lepas dari wacana di sekitar humor tersebut. Apalagi jika dirilis dalam wahana publik seperti televisi, wacana di sekitar humornya multilateral alias berlapis-lapis cum bertingkat-tingkat. Karena salurannya publik pula, menjadi esoteris bukan pilihan; humor mau tidak mau harus dipahami awam, yang dengannya bergandeng semangat zaman alias zeitgeist sebagai wacana dominannya. Lagipula jika diperhatikan, komedi Schur masih terbilang aman untuk menyinggung hal-hal sensitif…”
“Ya itu mah bias kamu aja, sayang…” celetuk Mae.
“Well, yea, possibly. Yet hear me out, aku ambil contoh langsung soal karakter yang bersangkutan, ya. The Office punya karakter gay yang fungsional dan jauh dari stereotip, Parks and Rec dan Brooklyn Nine-Nine pun begitu fungsional dengan para pandirnya yang notabene berbadan gemuk; fungsional dalam arti homoseksualitas dan kegemukannya tidak menentukan kepribadian mereka sebagai karakter. Malah, ketidakpantasan politis yang ada di The Office bisa dibilang hadir sebagai metahumor: kita tertawa bukan karena ketidakpantasannya lucu, namun bagaimana eksekusi ketidakpantasan ini begitu repulsif dan malah mempermalukan karakter yang melakukannya, maka menjadi lucu. Karakter si pandir gemuk di Parks and Rec menjadi sauh kewarasan pembaca atas kegilaan karikatural para karakternya. Duo pandir di Brooklyn Nine-Nine kadang-kadang menjadi convenient plot device yang membuktikan kemampuan mereka sebagai detektif.”
“Jadi?” tanya Mae.
“Ya, humor akan selalu problematis; mengingat bahwa yang-lucu tidak bisa dilepaskan dari yang-awam, dan yang-awam tidak bisa dilepaskan dari wacana dominan yang sarat prasangka. Justru karena prasangka dalam wacana dominan ini, lahirlah stereotip sebagai jangkar humor. Tinggal, bagaimana sifat problematis ini direduksi dengan penulisan humor yang hati-hati dan pelapisan kepantasan politis tanpa lagak menggurui. Ini rumit, dan tidak semua serial komedi punya hal ini,” jawab Ams.





Leave a comment