Pencuri Suluh

Pencuri Suluh

Pet!

Tidak butuh waktu lama hingga kekacauan menyapu kampung di kaki Bukit Labruis. Semua jenis cahaya dan daya lenyap seperti diangkat, mendadak gelap gulita. Ketakutan dan kepanikan memenuhi rongga udara dengan teriak dan pekak. Di sela-sela tangis anak-anak dan kengerian yang menyertainya, beberapa laki-laki berkumpul di depan gerbang kampung. Mereka mengitari seorang laki-laki yang berusaha keras menumbukkan dua kepal batu. Laki-laki itu lalu menyerah, disertai dengan koor hela kecewa dari kumpulan tersebut.

“Keluar percik pun tidak.”

“Semua ini sebab Yus ngambek!”

“Apa sebab dia mengambek?”

“Pajak kita petinya bagus tapi isinya receh belaka.”

“Itu kan sebab kehendak dia sendiri!”

“Lha iya, tuan tanah macam apa yang lihat bungkus dari pada isi?”

Laki-laki yang baru saja berujar meringis. Kekacauan ini sebab idenya untuk mengakali upeti yang tetap harus dibayar sembari tetap berupaya menabung sumber daya milik desa untuk kepentingan warga. Idenya adalah menaruh emas di koper daur ulang dan peti mengkilap berisi receh hasil jimpitan. Yus, sang tuan tanah, diminta memilih jenis pajak apa yang rutin dibayarkan ke depannya. 

Yus yang baru-baru ini terobsesi konsep baru bernama demokrasi, manut saja diminta para penduduk kampung. “Asalkan tetap membayar pajak,” imbuhnya sembari mengelus jenggot putihnya yang panjang. Dasar Yus, tabiat tuan tanahnya silau melihat peti berhias renda dan ukiran karena, “terkesan eksklusif,” ujar Yus sembari mengelus permukaan peti yang licin. Laki-laki yang mengusulkan tadi nyengir, sebab hingga jangka waktu yang disepakati, pajak akan terus dibayar dengan peti berukir berisi receh.

Laki-laki tukang ngide itu berkernyit-kernyit memutar otaknya. Gulita masih berdentam-dentam di latar, sementara kumpulan laki-laki di gerbang kampung memandang laki-laki itu tidak sabar.

“Pram! Bagaimana?”

Laki-laki yang dipanggil Pram itu menoleh ke arah kerumunan. Kekacauan masih terdengar, tidak tampak apa pun selain udara hitam yang menguarkan kegelisahan. “Begini saja,” sahut Pram akhirnya, “aku akan pergi ke istana di puncak Bukit Limbia dan mencuri suluhnya.”

“Gila kau!”

“Edan po?

“Gelo siah!”

Are you mad?!

A anta majnun?

Kerumunan laki-laki itu menghardik Pram bersahut-sahut. Hardikan tersebut menambah riuh kegaduhan yang terjadi di kampung, yang dari gemanya seperti kekalutan diseduh dengan kegelisahan dan diaduk dengan kewarasan yang makin malam makin terjun bebas. Pram nyengir, “TENANG SEMUANYA!”

Kampung tiba-tiba sunyi senyap. 

“Ehm,” Pram berdeham, lalu menarik nafas dan mengumumkan dengan lantang, “Hukuman yang kalian tanggung malam ini adalah sebab dari dosa dan buah pikirku. Pembalasan untuk kalian biar aku tanggung sendiri. Mencuri suluh dari istana di puncak Bukit Limbia adalah sedikit dari yang bisa kulakukan.”

“Tapi ini bukan dosamu semata! Kami setuju-setuju jua dengan idemu yang menyelamatkan kami dari pemerasan si tuan tanah!” samar-samar terdengar sahut dari seorang perempuan dari kegelapan kampung yang masih gulita.

“Hush!” Pram membantah, “Kalau yang kalian bisa lakukan saat ini adalah panik, aku tidak punya harapan sedikit pun untuk kalian dapat menemaniku mendaki puncak Limbia, sampai di sini kalian paham?”

Satu kampung senyap tidak menjawab.

“Baik,” ujar Pram merasa menang, “aku akan mulai mendaki, dengan atau tanpa izin kalian.” Pram kembali nyengir sembari mencibir, “toh, dicuri atau tidak, suluh itu lebih dibutuhkan di perkampungan kaki Labruis ketimbang di istana puncak Limbia.”

***

Menjelang tengah hari, Pram sudah mendaki setengah Bukit Limbia. Geraknya yang ligat membuatnya gegas dalam melintas kontur yang tidak berlaku lain selain menanjak. Bukit Limbia sendiri terletak lebih tinggi dari Bukit Labruis, terletak saling seberang di lingkar perbukitan yang sama. Praktis, dari malam hingga tengah hari, Pram harus mendaki, meluncur, dan mendaki lagi hingga berada di pinggang Bukit Limbia.

Tangan Pram kadung lecet-lecet dan tenggorokannya haus tidak karuan. Semakin tinggi ia daki Limbia, matahari rasanya semakin dekat saja. Sembari mencari-cari batu yang mencuat untuk pegangan, Pram menggerutu soal dirinya yang terburu-buru. Pram memang tidak membawa apa-apa selain jasadnya sendiri. Sembari mendaki, Pram berkhayal betapa segarnya aliran Sungai Tih yang konon melayarkan jiwa-jiwa. Atau ademnya kabut di tumit air terjun pada Lereng Dardaru. Sayang, yang diindrainya khianat dengan idamnya; panas yang menjerang sisi punggung berbatu Bukit Limbia dan pendakian celaka yang dilakukan sembunyi-sembunyi.

Menjelang sore, balkon istana di puncak Bukit Limbia mulai terlihat. Tentu saja, balkon ini terletak di ‘belakang’ istana, menjorok ke punggung bukit yang lebih tepat disebut ngarai. Tidak ada penjaga atau sistem pengamanan apa pun, karena secara arsitektural memang tidak memungkinkan adanya pos penjagaan yang manusiawi. Pram menggapai lantai balkon, mendongakkan kepala sembari menoleh kanan kiri, kalau-kalau ada penghuni istana atau penjaga melintas.

Merasa aman, Pram memanjat balkon tersebut dengan hati-hati. Lantai marmer balkon tersebut bikin gelisah karena Pram takut kakinya yang lengket dengan darah dan debu berdecit di permukaannya. Pram berjingkat-jingkat kalau-kalau di seberang ruangan ada penjaga. 

Malam sudah turun dan istana terlihat gemerlap. Pram menyusuri lorong-lorong istana yang kosong sembari sesekali terbirit mencari persembunyian kala bersirobok dengan jarak pandang penjaga yang berkeliling. Untungnya, istana itu punya terlalu banyak ruang, lorong, dan ceruk untuk bersembunyi. Namun tetap celaka, Pram belum tahu di mana letak suluh yang ingin dicurinya.

Malam semakin larut, dan suasana istana begitu-begitu saja. Para penjaga masih berseliweran dan Pram masih bermain petak umpet sendiri. Lorong-lorong kini terlihat sama dan Pram mulai tampak gelisah. Berarti sudah seharian Pram jauh dari kampung, dan Pram tidak punya ide apakah kekalutan dan kegelapan masih menggelayut atau sudah dicabut dari kampungnya.

Pram sedang melongok-longok saat dilihatnya Yus serta beberapa orang tergopoh-gopoh di kejauhan. Berjingkat-jingkat didekatinya kerumunan itu sambil matanya mencari-cari pasak atau tempat persembunyian untuk mencuri dengar. 

Yus tampak geram dan mengomel, “Mencabut cahaya dari kampung itu masih belum cukup setimpal sebagai ganjaran!” Di belakangnya, seorang laki-laki dengan raut luka di muka menimpali, “Di rubanah aku punya wadah dengan isi dari ruang-ruang gelap Lereng Dardaru.” Yus melengos, “Ingat betapa idemu yang terakhir berakhir dengan raut di wajahmu!” Laki-laki itu meringis takut-takut, “Ijinkan saya membisikkan rencana-rencana, Tuan Yus.” Lalu laki-laki itu mendekati telinga Yus dan ber-wasweswos.

Pram mengernyitkan keningnya. Yus dan laki-laki berwajah parut itu berderap menjauh. Selang beberapa lama, segerombolan penjaga melintas sembari berbincang-bincang, “Ini serius pada dibebas tugaskan dari Ruang Suluh?” “Komandan bilangnya sih begitu.” “Padahal sebelumnya ketat banget.”

Wajah Pram mengeras. Ada yang tidak beres. Rasa-rasanya seperti jebakan. Namun setidaknya, Pram sekarang bisa menyusuri ruang di mana suluh berada dari gerombolan penjaga yang mulai menjauh. Ditengoknya lorong-lorong yang kini dipenuhi para penjaga yang berarak berlawanan arah dengan tujuannya. Dengan menyelinap, sampailah Pram di ruang yang pintunya tidak ada bedanya dengan ruang-ruang lain, tapi tampak bias cahaya yang lebih terang menembus di sela-sela pintu. Gerombolan penjaga terakhir baru saja keluar dan mengunci pintu dengan kunci yang tampak biasa saja. Pram menunggu.

Fajar sepertinya mulai naik di luar istana. Pram menunggui ruang tersebut dan tidak menemukan tanda-tanda akan adanya bahaya. Sesekali seorang pesuruh lewat, masuk, dan keluar seperti tidak ada apa-apa. Pram mulai tidak sabar. Tepat ketika kokok ayam jantan pertama terdengar, Pram membobol pintu ruangan tersebut. Pram mendapati dirinya berada di aula besar dengan tribun-tribun dan panggung kecil dengan piala yang mewadahi api yang menyala tegak.

Pram mengetuk sisi tribun, berharap membangunkan jebakan yang dikiranya ada. Ketukannya menggema sepanjang ruangan. Tidak terjadi apa-apa. Didekatinya panggung kecil di ruangan itu. Dirobeknya baju yang dikenakannya dan dengan perca itu mengikat piala tersebut ke punggungnya. Nyala api itu dingin dan tegak tidak tergoyahkan. Pram kagum dan senang, betapa fisika yang dikhianati Suluh Limbia ini memudahkan proses pencuriannya. Dia kembali menyusuri jalan datangnya ketika ia menemui betapa padatnya balkon dengan penjaga. Jelas dia tidak dapat menuruni punggung Bukit Limbia untuk kembali. Setengah berlari dia meniti lorong ke arah pintu utama. Celaka, pintu utama sama padatnya oleh penjaga. 

Untung saja matahari sudah setinggi galah, nyala suluh yang dicurinya menyaru dengan sinar mentari, membuat Pram agak sedikit bebas bergerak. Jalan lain yang mungkin untuk kabur adalah menuruni Lereng Dardaru di sisi sebelah istana. Penjaga-penjaga yang terletak di Lereng Dardaru tidak (mungkin) sebanyak pintu utama atau balkon saat ini. Namun, tetap saja, dalam skenario terburuk, Pram harus meninju jalan keluarnya sementara ia tidak punya senjata. 

Nekat, Pram tetap menuruni lereng dari jendela di sisi istana, sembari menyilangkan jarinya berharap para penjaga di Lereng Dardaru lengah. Mengendap-ngendap, dilewatinya pos pertama yang kosong. Lalu pos kedua. Lalu pos ketiga. Lalu pos keempat. Di pos kelima, beberapa penjaga sedang mengobrol ketika mereka tiba-tiba menegang dan mengangkat senjata.

“Celaka,” batin Pram.

Para penjaga mendekat ke arahnya. Pram berusaha membungkuk sedemikian rupa agar tetap tidak terlihat. Wajah para penjaga menunjukkan gelagat waspada. Para penjaganya sudah sedemikian dekat ketika mereka berteriak, “Keluar kamu!”

Pram sudah berniat mengayunkan piala suluh ke arah para penjaga jika mereka berada dalam jarak pukul, ketika sesosok perempuan keluar membawa tempayan. Wajah para penjaga mengendur, “Nona Duerah, apa yang anda lakukan di sini?”

“Bukan urusan kalian.”

“Nona mau ke mana? Bukankah nona tidak boleh keluar istana?”

“Kalian tahu suluh sudah dicuri?”

“Apa?!”

Sekonyong-konyong, para penjaga berlarian menanjaki Lereng Dardaru menuju istana. Gelagat panik tidak terhindarkan tergambar dalam langkah-langkah panjang dan cepat mereka. Duerah menonton para penjaga yang tunggang langgang dan berbisik, “Keadaan sudah aman, kamu boleh keluar.”

Pram yang merasa sedang diajak bicara pun keluar dan bertanya, “Siapa kamu? Apa urusanmu menolongku?”

“Kamu sudah tahu namaku, kan?”

“Duerah, tapi apa peduliku. Kamu tahu maksud pertanyaanku.”

“Aku ingin membawa pergi tempayan ini dan kabur dari istana, dan aku tahu kamu yang mencuri suluh mau membawanya ke kampung di kaki Labruis.”

“Apa untungnya aku membawamu?”

“Kita tidak punya waktu, para penjaga bisa menuruni lereng ini lebih cepat dari usaha mereka menanjak tadi.”

Benar saja, tidak berselang lama, kegaduhan mulai terdengar dari puncak bukit. Pram terkesiap dan bersiap kabur ketika Duerah menggenggam tangannya dan menariknya ke semak-semak. “Aku tahu jalan pintas menuruni lereng ini,” bisik Duerah, “Di antara semak-semak ini ada lubang yang mengarah ke hulu Sungai Tih. Agak curam memang, tapi dari sini kamu bisa meluncur turun. Siap-siap.” Duerah meluncur diikuti Pram, dan di kejauhan para penjaga kocar-kacir dan samar-samar terdengar panik. “Komandan tidak boleh tahu soal ini.”

***

Pram baru saja bangkit setelah terduduk jatuh sehabis meluncur. Dilihatnya Duerah sedang membersihkan dirinya di hulu sungai. Pram turut membersihkan dirinya dan menumpang minum ketika Duerah berujar, “Setelah ini, kita hanya perlu menyusuri Sungai Tih untuk sampai ke lembah dan mulai mendaki Labruis. Perjalanan ini bisa lebih cepat kalau kita memutuskan berlari.”

Matahari sudah tinggal segalah dari langit. Kalau malam ini mereka belum sampai ke kampung di kaki bukit Labruis, maka ini menjadi malam ketiga kampung tersebut berada di kegelapan. Pram mengangguk, setengah berlari mereka menyusuri bantaran Sungai Tih, sambil berharap mereka sudah ada di lembah senja nanti. 

Langkah-langkah Duerah begitu cepat, Pram yang mengikutinya agak kewalahan. Dipandanginya tempayan di punggung Duerah. Pram mengernyit penasaran dan bertanya, “Apa itu yang kamu bawa?”

“Sesuatu yang dijaga oleh ayahku setengah mati,” jawab Duerah.

“Apa isinya?”

“Aku tidak tahu, kata ayahku tempayan ini dapat menolong orang-orang di wilayah Tuan Yus.”

“Kamu tidak mau lihat isinya terlebih dahulu?

“Tidak, aku hanya akan membukanya di gerbang kampung dan hanya di gerbang kampung.”

“Kalau-kalau itu jebakan?”

“Jebakan bukan hal-hal yang ingin dijaga ayahku, tapi jika pun iya, membukanya di gerbang kampung menghindarkannya dari kerusakan. Aku yakin ini bukan jebakan, dan membukanya di gerbang kampung akan mempercepat pertolongan.”

“Hmm, masuk akal.”

Mereka hening kembali. Hanya terdengar suara langkah-langkah cepat. Sesekali terdengar teriakan beruk, dengkungan kodok, atau cericip serangga dan burung. Suara yang setia menemani mereka tidak lain adalah suara aliran Sungai Tih itu sendiri. Malam sudah turun dan mereka belum sampai di lembah. Pram larut dalam kecemasannya, sehingga tidak sadar suluh berpendar begitu terang di punggungnya. Duerah menyeru gusar, “suluhmu akan mengundang masalah!”

“Hah?”

“Suluhmu terlalu terang, kamu terlihat seperti mencuri matahari dan membawanya membelah bukit!”

Pram menoleh dan melihat betapa terangnya suluh itu tanpa disadarinya. Pram berusaha menutup-nutupi suluh tanpa mematikan kobarnya, tapi setiap penutup malah terbakar dan kobar api tidak surut sedikit pun. Tidak ada jalan lain, Pram mempercepat langkahnya membalap Duerah. Berlari.

Pram tahu, semakin lama ia berada di lembah, semakin mudah ia diketahui keberadaannya untuk dikejar. Suluh itu menjadi suar yang meneriakkan keberadaannya. Pram harus segera beranjak dari lembah dan menyembunyikan suluh itu dengan mengitari Labruis dan kemudian mendaki menuju kampungnya.

Duerah di belakang terengah-engah. Malam sudah berada di tengah-tengah, dan tanah landai lembah itu mulai sedikit menanjak. Mereka sudah di telapak Labruis. Pram memutuskan untuk mengitari bukit kalau-kalau cahaya suluh masih terlihat dari Limbia. Duerah mengikutinya, dan mereka mulai mendaki. 

Sayup-sayup terdengar suara teriakan dan gemuruh yang berderap di antara suara-suara malam. Pram gelisah dan mulai mendaki lebih cepat. Sesekali Pram berhenti dan memandang tidak sabar ke arah Duerah yang lamban mengikutinya. Malam mulai menggeser ke fajar. Sesekali derap gemuruh dan teriakan itu terdengar lagi, dan suara warga kampung yang gelisah semakin jelas di telinga.

Fajar merekah. Pram dan Duerah tampak begitu kelelahan. Kampung sudah dekat, Pram bisa mencium bau keringat dan tanah yang familiar. Bedanya, ada campuran kekalutan yang pekat di antara bau-bau hidup di kampung tersebut. Pram mulai menyusuri setapak menanjak yang mengarah ke perkampungan. Langkahnya masih digegas-gegaskan, kalau-kalau para penjaga istana membalapnya terlebih dahulu ke perkampungan. Hari sudah menjelang ke tengah ketika kepala Pram muncul di ufuk kampung.

Laki-laki kampung yang berkerumun di gerbang bersorak. Pram sudah kembali. Mereka memeluk Pram dan melepaskan suluh dari punggungnya. Sementara Duerah dipapah oleh para perempuan ke dalam kampung. Saking lelahnya Duerah, ia lupa pada niatnya untuk membuka tempayan di gerbang kampung. Para laki-laki menggoda Pram yang kini duduk-duduk dan menenggak habis air minum.

“Kau bawa perempuan dari jalan?” Tak tahan para laki-laki mulai menggosip.

“Aku tidak bawa perempuan dari jalan,” jawab Pram.

“Apa pasal perempuan itu datang kemari? Payah pula membawa tempayan.”

“Pasal perempuan itu datang dari istana di Puncak Limbia…”

“Kau bawa warga tuan tanah?!”

“Sebentar…”

“Kau tak takut dia khianat?”

“Sebentar…”

“Petaka macam apa pula yang kau bawa, aduh Pram!”

“Sebentar!”

Pram muntab. Kelelahannya mencair bersama kekalutan yang mendiami kampung tersebut. Setelah riuh mereda dan semua diam, Pram menjelaskan duduk perkara.

“Begitu.”

Para laki-laki itu manggut-manggut, “artinya, ia bermaksud untuk membantu kita? Apa motivasinya?”

“Aku tidak tahu,” jawab Pram.

“Ya sudah, mari letakkan suluh di tengah-tengah kampung.”

Para laki-laki mulai bergerak menggotong piala tersebut dan membangun panggung di tengah kampung. Malam nanti, kampung tersebut tidak lagi terjebak dalam gulita. Sementara Pram, memutuskan untuk tidur setelah tiga malam terjaga.

Tidak jauh dari pondok di mana Pram tertidur, Duerah mendengkur sembari memeluk tempayannya. Para perempuan yang berjaga di ruang depan membicarakan Duerah dan tempayan yang tampaknya sangat penting itu.

“Tempayan itu tak pernah dilepas, seperti bayinya saja.”

“Bagaimana kalau isinya memang bayi?”

“Memangnya bayinya bisa bernafas dalam tempayan?”

“Barangkali isinya lebih penting dari bayi dan kehidupan.”

“Misal?”

“Tidak tahu, nasib barangkali?”

“Hahaha, nasib macam apa disajikan dalam tempayan?”

“Setahuku, nasib itu dipintal seperti benang.”

Riuh rendah suara para perempuan yang bergosip di ruang depan tidak membangunkan Duerah. Begitu juga dengan Pram di pondok sebelah, mendengkur begitu lelap dan tidak tergugah oleh suara ribut para laki-laki dan anak-anak yang sedang membangun panggung di tengah kampung. Orang-orang kampung begitu gegap gempita dengan suluh yang sudah datang dan penasaran akan tempayan yang tak diundang. Gemuruh dan gegap gempita tidak menggetarkan sedikit pun indra Pram dan Duerah yang terlelap, hingga tiba-tiba mereka terbangun bersamaan dan menjerit panik,

“Mereka sudah dekat!”

Kampung seketika hening mendengar jeritan Pram dan Duerah. Tidak ada suara hingga tiba-tiba terdengar seruan dan langkah-langkah yang berderap di kejauhan. Pram dan Duerah tergopoh-gopoh berlari ke luar, menyambangi gerbang desa. Dilihatnya kepulan debu yang semakin ramai dan dekat. Para penjaga sudah berada di Labruis, tidak perlu berhitung hari untuk mereka sampai di gerbang kampung. 

Pram segera meneriakkan perintah siaga. Para laki-laki bergegas masuk ke dalam rumah dan tergopoh-gopoh keluar menuju gerbang kampung membawa senjata. Beberapa laki-laki yang lain menyusun gelondongan yang dirancang sebagai mekanisme pertahanan diri. Pram mengambil tombak, berlari ke tengah kampung dan menyulut tombak tersebut dengan suluh. Sementara Duerah menuntun anak-anak dan perempuan ke balai paling besar di tengah kampung, praktis menjadikannya suaka. 

Para laki-laki berjaga memutari kampung, kalau-kalau serangan bakal datang tidak cuma dari satu sisi. Namun Pram melakukan hal yang lain lagi. Dari tengah kampung, Pram dengan tombak apinya berlari melintasi kampung dan melompat keluar, nekat menghampiri derap dan gemuruh tersebut. Para laki-laki terkesiap, wajah mereka serentak mengeras. 

Tidak berselang lama, gemuruh tersebut berhenti. Beberapa saat berlalu ketika kesunyian yang menegangkan itu pecah oleh teriakan-teriakan rasa sakit. Dari jauh, kepulan debu bergumul dengan asap berwarna kebiruan. Wajah para laki-laki semakin mengeras. Denting senjata, gemuruh, dan teriakan berlangsung cukup lama. Keringat dingin dan ketegangan mengelilingi kampung tersebut. 

Langit sudah mulai gelap, ketika tiba-tiba tombak berapi milik Pram meluncur dan menancap tepat di gerbang kampung. Para laki-laki terkesiap, beberapa memutuskan untuk meluncur menemui Pram di medan gelut. Mereka begitu tegang untuk menyadari betapa keriuhan telah surut dan reda. Di antara kepul dan asap, hanya satu sosok berdiri tegak memunggungi mereka. Para laki-laki berhati-hati mendekati sosok tersebut, ketika sosok itu menoleh dan menatap mereka tajam dengan wajah keras dan terparut senjata. Para laki-laki menghela nafas lega dan bersorak ketika tahu bahwa sosok tunggal itu adalah Pram.

Sorak sorai adalah yang terdengar dari luar kampung dan turut memecah keheningan di dalam kampung. Para laki-laki mengelukan Pram yang kelelahan. Sesampainya di kampung gegap gempita meliputi kampung tersebut. Di antara sengalnya, Pram bersabda, “Ancaman memang sudah hilang, untuk saat ini. Namun, hendaknya tetap waspada. Aku meminta para laki-laki bergantian berjaga dan mendirikan menara pengawas serta merakit senjata. Suluh yang ada lebih dari cukup sebagai sumber daya.”

Para laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang mengerumuninya mendengarkan dengan takzim. Selepas ditinggal Pram beristirahat, kerumunan buyar dan mulai melaksanakan tugas masing-masing. Para laki-laki menyusun jadwal ronda sekaligus lokakarya penempaan senjata. Para perempuan menghadiri kelas-kelas dan mengembangkan komunitas. Anak-anak bebas bermain asal tidak keluar gerbang.

Tahun berjalan, dan kampung telah begitu digdaya. Suluh abadi dari Limbia ini benar ampuh mengusir dingin dan menyediakan energi untuk menghangatkan rumah-rumah. Pram dan Duerah bahu membahu memimpin kampung itu. Kalang tahun, beberapa pasukan penjaga berhasil pula ditumpas tiap kali kampung tersebut disambangi. Lembah antara Labruis dan Limbia kini dibentengi.

Sementara, Yus mondar-mandir tidak sabar di atas karpet istana Limbia. Pria dengan wajah berparut duduk bersila di pojok ruang sembari menyembunyikan gugupnya dengan mengangguk-angguk takzim. “Sudah puluhan pasukan,” seru Yus, “dan ratusan orang! Suluh itu masih di sana dan lihat, Fizus! Rencanamu begitu rapuh dan suluh itu begitu ampuh makan tuannya sendiri!” Geram Yus sembari menuding pria dengan wajah beraut.

Wajah Fizus tertekuk. Yus sudah begitu muntab. Kesabarannya meleleh dan berkobar menjadi api kemarahan dan ketergesa-gesaan. Tidak ada yang bisa Fizus lakukan selain berujar, “Rencana sudah berjalan sebagaimana mestinya. Memang tidak selama ini, tapi…”

“Tapi apa??”

“Aku tidak menyangka anakku mudah terpikat dengan kehidupan di luar Limbia. Kukira dia sudah dapat segalanya di sini, dia memang anak baik dan tidak tahan melihat ketidak adilan…”

“Siapa bilang yang aku lakukan tidak adil, hah?? Aku mengusahakan segalanya di sini! Aku berhak atas semua yang kukumpulkan karena aku berhasil menaklukkan! Buatku, urusan ini adil belaka, bukan urusanku betapa mereka-mereka yang telah kutaklukkan punya karakter begitu lemah!”

Fizus terdiam. Tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali menuruti keinginan tuannya. “Begini, Tuan Yus,” lanjut Fizus, “Seperti yang anda tahu, wadah dengan isi dari ruang-ruang gelap dari Lereng Dardaru telah berada di kampung itu bersama anakku. Seperti rencana, anakku sudah begitu muak dengan kehidupan Limbia dan aku membiarkannya membawa wadah itu bersama si pencuri suluh. Bagaimanapun, wadah itu ampuh meluluh lantakkan jenis peradaban mana pun jika dan hanya jika dibuka dekat dengan suluh abadi.

“Sekarang, tinggal menunggu waktu sampai wadah itu dibuka di dekat suluh.”

“Sampai kapan??”

***

“Sampai Limbia luluh lantak!”

Pram berseru sambil mengangkat gelas tuaknya tinggi-tinggi. Kampung sedang mengadakan perayaan dan pergumulan adat malam itu. Sorak-sorai para laki-laki menyambut seruan Pram diiringi gelak tawa dan deru redam suara percakapan.

“Apa yang kita rayakan?”

“Kebebasan! Kemajuan! Lepas dari penindasan!”

“Eh, lalu bagaimana dengan urusan upeti tahunan kita?”

“Peduli setan! Hahahahahaha!”

“Hahahahahaha!”

Baik laki-laki maupun perempuan bersenang-senang. Semuanya mendendangkan lagu-lagu keceriaan. Sesekali beberapa laki-laki atau perempuan naik ke panggung, menggelar penampilan dadakan. Malam itu tidak ada kemarahan atau kekalutan, yang terdengar hanya siulan, tepuk tangan, dan gelak tawa.

Hingga Duerah tertidur karena kelelahan dan Pram kadung mabuk berat.

Duerah pamit dari perhelatan dan masuk ke rumah salah satu penduduk di tepi alun-alun, lalu berbaring di atas dipan pinjaman. Sementara para laki-laki yang mabuk parah menyanyi dengan sumbang mengiringi Pram yang sempoyongan menuju rumahnya. Dibukanya pintu rumah dan hal pertama yang dilihatnya adalah tempayan milik Duerah yang belum terbuka. Wajah teler Pram sumringah. Sebentar kemudian, wajah yang sama tertekuk dan sepertinya tertegun. Tampaknya menimbang-nimbang dan mengingat-ingat.

“… tempayan ini dapat menolong orang-orang di wilayah Tuan Yus.”

“Bodo amat,” ujar Pram. Karena mabuk, Pram hanya bisa menyeret tempayan tersebut keluar rumah menuju panggung di mana suluh berada. Dalam ketidaksadaran, Pram ingin menuntaskan rasa penasarannya. Para laki-laki yang masih setengah teler dan belum mentas bersorak menyambut Pram. Mereka senang mengingat mereka melihat Pram berjalan sempoyongan menjauhi alun-alun. Di sana-sini alun-alun tergeletak para laki-laki yang teler dan perempuan serta anak-anak yang berusaha mengajak para laki-lakinya pulang.

Bujang-bujang yang teler dekat suluh menyambut Pram, “Mau kau apakan tempayan itu, Pram?”

“Mau aku buka.”

“Itu tempayan punya Duerah?”

“Iya.”

“Sudah ijin?”

“Buat apa aku ijin pada warga tuan tanah dan perempuan?” Pram menyahut sewot.

Bujang-bujang terdiam. Tidak ada satu pun dari mereka yang tahu keberadaan Duerah untuk memberitahu tingkah Pram. Dari cerita-cerita yang mereka dengar, Duerah begitu protektif dan posesif perihal tempayan itu. Warga kampung tidak ada yang pernah mengungkit-ungkit lagi soal tempayan sejak suatu hari Duerah muntab pada bocah-bocah yang bermain petak umpet memutuskan untuk bersembunyi di balik tempayan.

“Kalau tempayan itu pecah, mau kalian menanggung akibatnya?”

Namun, Pram merupakan orang kuat kampung. Tidak ada yang berani menggugat Pram sejak dia menyelamatkan kampung tersebut berkali-kali dari serbuan para penjaga Limbia. Pun, dari kepala Pram pula banyak ide-ide yang menciptakan kemajuan di kampung tersebut. Bujang-bujang tersebut memutuskan untuk kembali mengedarkan tuak, “Terserah kau saja, Pram.”

Pram menggerutu. Di dekat suluh, Pram bersila memangku tempayan tersebut. Tuak sebanyak setengah batok yang tergeletak di sampingnya ditenggaknya pula. Kesadarannya sudah entah di mana. Dengan sisa tenaga dan kesadaran, ditariknya tutup tempayan.

Api suluh surut sekejap lalu memijar sebentar.

Api suluh kemudian bergoyang sebentar. Muka Pram kebas. Ditengoknya isi tempayan yang ternyata kosong. Pram kembali menggerutu. Pram menutup kembali tempayan tersebut dan menyeretnya pulang.

***

Nasib buruk bermula dari kesenangan yang terlalu lama ditenggak dan dibiarkan. Di kampung Labruis, nasib buruk bermula sejak mula hari. Pada awalnya, adalah bujang-bujang dekat suluh yang ditemukan tewas keracunan tuak. Perempuan-perempuan yang punya hubungan dengan para mayat bujang itu menjerit mendahului kokok ayam di pagi itu. Pram dengan kepala pening setengah mampus bergegas ke sumber jeritan. 

Bagai dicopot tulang dari daging, Pram gemetar dan meleleh. Samar-samar kesadarannya berkumpul kembali. Semalam dia melakukan hal tolol dan tidak mengindahkan interogasi para bujang yang kini sudah kadung mati. Sebagian akal Pram kini mati-matian menolak bahwa tingkah tololnya yang menggugurkan jiwa. “Toh tidak ada hubungan antara tempayan yang terbuka dan tuak basi yang mereka tenggak.” Pram tetap lemas.

Duerah terbangun dengan perasaan luar biasa kalut. Terbangun di dipan tetangganya, Duerah bergegas pulang. Sesampainya di rumah, Duerah lemas mendapati tempayannya sudah berubah posisi dengan penutup yang tidak lagi sempurna. Duerah tidak tahu apa yang akan terjadi, ia sungguh-sungguh berharap terbukanya tempayan membawa kampung lebih digdaya. Hingga, ia mendengar jerit tangis melintas di depan rumahnya.

***

Pemakaman itu bukan yang terakhir kali. Dalam hitungan minggu, tragedi menghapus kedigdayaan kampung di kaki Labruis itu. Para laki-laki yang masih tergeletak di alun-alun semalaman waktu itu, menangis mendapati diri mereka tidak lagi perkasa. Perempuan yang keluar membangunkan para laki-lakinya dihinggapi penyakit, sementara bocah-bocah tidak berhenti mengeluarkan ingus dan dahak.

Bulan sudah berganti, dan warga kampung entah memutuskan mati atau pergi. Duerah dan Pram menjadi sepasang penyintas di kampung sarat teluh dan sawan seketika. Beberapa dari yang selamat memutuskan pergi, hanya untuk kembali dalam keadaan yang tidak utuh. Benteng di lembah antara Labruis dan Limbia beralih kuasa; para penjaga tanah Tuan Yus merayap di tiap sisi tembok, praktis mengurung para penduduk kampung Labruis yang jumlahnya makin tidak seberapa.

Yus mengelus janggutnya takzim. Fizus meringkuk nanar di sampingnya. “Benar-benar ampuh strategimu, Zus. Butuh bertahun-tahun menunggu celaka mereka sendiri. Benar-benar seperti disapu sejagad,” Yus menarik nafas keras-keras, seperti sengaja dan dengan nada pamer berkata, “Ah, kau cium itu? Wangi keruntuhan!”

Fizus menggumam. Wajahnya gelisah dan tatapannya nanar. Yus mendengus, sembari mengokang senapannya lalu menembak seorang penduduk kampung yang berlari, “Apa yang kau khawatirkan?” Tanya Yus sembari membersihkan selongsong senapan, lalu mengisi kembali amunisinya.

“Anakku…”

“Mengapa anakmu?”

“Semoga ia terhindar dari guna-guna dan wabah dari Lereng Dardaru.”

“Yah,” sahut Yus sembari membidik, terdengar tidak peduli. Ditembaknya sekali lagi penduduk yang sudah terkapar di lantai tembok benteng. “Anakmu sangat mungkin hidup, dia besar di atas Lereng Dardaru. Hal-hal yang mewabah di sini tidak mempan untuk warga Tuan Tanah. 

“Kecuali…yah, darahnya sendiri berkhianat dan mengubahnya menjadi penduduk sampah bukit ini.”

Fizus menggeleng-gelengkan kepalanya. Menahan tangis. Anaknya seharusnya cuma bertindak sebagai kuda troya; menyusupkan penyakit dan sihir gelap ke tengah-tengah kampung. Tanpa sepengetahuan Yus, Fizus sebenarnya menyisipkan pula penawar atas nasib celaka. Namun yang dilihatnya hanya nasib buruk yang berlarut-larut dan menggerogoti setiap peradaban di kaki bukit Labruis. Harapan dan penawar celaka seperti lebur dan tenggelam di sela-sela kematian yang semakin sering.

Duerah tidak berhenti menangis, sementara Pram hanya bisa termenung. Bala memasuki bulan ketiga. Tiap lantai di sepanjang tembok benteng lembah Labruis menjelma kuburan penduduk kampung. Pram menggeram sedih, “Kau bilang ada hal-hal yang dapat menolong penduduk di tempayan itu.

“Sejak terbuka, alih-alih pertolongan, musibah yang mengetuk pintu-pintu di kampung ini.”

Kemarahan menguasai Pram, “Harusnya memang tidak kubiarkan warga tuan tanah memasuki perkampungan ini.”

Wajah Duerah yang basah mendelik marah, “Hei! Bukan aku yang mabuk dan tolol membuka tempayan yang kita tidak tahu isinya di tengah-tengah kampung, dekat suluh pula!”

“Tanpa tempayan itu pun penduduk ini baik-baik saja!

“Jangan alihkan pembicaraan!”

Pertengkaran berlanjut. Namun semuanya kalah, semuanya salah.

“Yang aku tahu, ayahku memelihara kebencian yang sama besar atas Tuan Yus,” isak Duerah, “Barangkali masih ada yang tertinggal di dasar tempayan!” Duerah tergesa-gesa membuka kembali tempayan dan membenamkan kepalanya. “Tidak ada,” jeritnya, “Tidak ada apa-apa!”

Pram tertegun. Dirinya memutuskan untuk pergi ke arah tembok benteng. Sembari menyiapkan tombak yang disulutnya dengan api suluh yang semakin kecil dan muram nyalanya. Langkahnya yang tegap tidak lagi terlihat yakin. Malah, seperti ditegar-tegarkan. Yus dari atas tembok membidikkan senapannya. Sesaat kemudian, terdengar letusan yang dibalas dengan siulan benda cepat. Yus mendongakkan kepalanya dari bidikan hanya untuk mendapati tombak berapi sedang meluncur ke arahnya. Yus tidak punya banyak waktu untuk menghindar, mata tombak kadung menancap di tulang selangka tembus ke belikat. Di tengah kenyerian dan kengeriannya, dilihatnya Pram terbaring bersimbah darah. Para penjaga menghampiri sosok Pram.

“Pram belum mati.”

Yus terbelalak mendengar kabar tersebut ketika baru saja sadarkan diri. Di hadapannya, Pram dikerangkeng tangan serta kaki dengan penutup mata dan sumpalan. Di sampingnya, Fizus menciumi anaknya sembari menangis, “Duerah sayangku, maafkan ayah…” Sementara Duerah dengan wajah bengkak hanya memandang kosong ke arah Yus.

Yus melengos tidak peduli dan memutuskan untuk merisak Pram yang tertangkap. “Aku ingin menggantungmu di Lereng Dardaru,

“Atau meletakkanmu berbaring di bawah stalaktit di gua-gua antara Lereng Dardaru dan Sungai Tih, diikat dan tertimpa tetesan hingga akhir hayat,

“Atau menambatkanmu di dasar Sungai Tih dengan hanya sebuah pipa pendek sebagai alat bantu bernafas,

“Aku tidak ingin membunuhmu dahulu. Aku ingin menyiksa jasadmu, pelan-pelan.”

***

Yus akhirnya memutuskan untuk menyalib Pram di puncak Bukit Labruis. Dari istana di Puncak Limbia, dilepasnya seekor rajawali untuk memamah dan mencabik tubuh Pram. Tiap akhir pekan, luka-luka Pram akan dirawat, hanya untuk dicabik kembali di hari-hari selanjutnya. Semua harapan sudah hilang.

Duerah kembali hidup di lingkungan istana. “Harapan tinggal di dasar tempayan,” bisik Duerah sembari mengelus perutnya yang semakin membesar.***


Discover more from Kasat Kata Kultur

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a comment