Pasang Aku Sembunyi

Pasang Aku Sembunyi

“Tiap bulan purnama, ada lolongan yang datang dari pasang,” penjaga mercusuar tua itu bertutur kepadaku. Angin begitu gigil menerpa wajah, aku menenggak habis sesloki rum dan bergidik, “Kita semua mendengar hal aneh dari laut, tapi lolongan?” Aku bertanya ragu. Penjaga mercusuar itu lebar matanya dan masam mukanya, muncrat-muncrat liurnya dan basah putih uapnya bersama rum di seka mulutnya, “Hai, Mualim! Aku habiskan hampir empat dekade menjaga tiang bohlam agar perahu tidak karam itu. Aku telah melihat badai dan pusaran-pusarannya yang mustahil. Lolongan hanya satu hal lain. Terserah jika kamu tidak percaya, tapi rum ini hanya untuk orang-orang yang mau mendengarkan penjaga tua lagi pekak ini.” Aku jelas tidak mau kehilangan rum gratis di musim es berkerak di pangkal bangunan dan talang-talang air ini, maka kucekal tangan penjaga tua itu, “Baik, baik. Sejak kapan lolongan itu muncul, Pak Tua?”

“Sudah tiga dekade ini. Sejak kapal selam mulai parkir di pelabuhan-pelabuhan kami.”

“Selain itu?”

“Aku dengar, beberapa desa nelayan di seberang sana habis dibantai. Darah di mana-mana. Angin berkabar, serigala yang menghabisi desa-desa itu.”

“Dan kapan anda mendengar berita terakhirnya, Pak Tua?”

“Tiga dekade lalu, kalau kepala tua ini tidak khilaf.”

Aku menenggak lagi rum sesloki dan bergidik. Musim dingin dan musim angin di teluk bukan untuk badan-badan ringkih. Aku mengeluarkan acar herring-ku dari ransel, “Mau ikut makan, Pak Tua?”

***

Semalam adalah bulan sabit terakhir dan malam nanti sudah bulan perbani. Perang membuat pelabuhan ini semakin ramai saja, dan tidak pernah ada cukup whisky dan rum untuk semua orang. Aku sedang mampir menenggak whisky murah di gubuk pelabuhan kala aku lihat seorang laksamana masuk memasang raut gelisah. Aku dengar dia salah satu laksamana yang melayarkan kapal selam yang akhir-akhir ini sering mampir pula di pelabuhan. Matanya liar, dengan janggut perak yang tajam dan acak-acakan.

Dia memergokiku menatapnya, terkejut aku pura-pura melihat ke sloki. Dia menghampiriku, mengambil sloki kosong dan menuangkan rum di slokinya dan slokiku. “Malam-malam yang panjang, eh, Mualim?”

“Malam-malam yang panjang, Laksamana.”

Sloki kami berdenting, kemudian kami tenggak. Kami terdiam cukup lama, sembari sesekali saling menuangkan rum. Berdenting. Tenggak. Tuang. Berdenting. Tenggak. Musim dingin dan musim angin di teluk bukan untuk badan-badan ringkih. Aku mengeluarkan acar herring-ku dari ransel, “Lapar, Laksamana?”

“Ya.”

Kami menikmati acar herring ransum dalam diam. Kilat matanya yang liar semakin-makin ketika menyantap acar herring. Aku diam memperhatikannya yang tampak semakin gelisah. Laksamana kemudian bertanya setelah menyantap habis acar herring-nya, “Malam besok sudah perbani, ya?”

“Malam nanti.”

“Purnama berapa hari lagi?”

“Tidak sampai seminggu.”

Laksamana tampak semakin kalut. Matanya yang liar mencari-cari. Janggut peraknya mengkilat oleh peluh yang mustahil leleh di musim seperti ini. Mulutnya bergumam dan berdengung. Tangannya bergetar menuang rum ke sloki, hampir-hampir membanjiri meja. Dibantingnya botol rum ke meja, mengagetkan seisi gubuk. Wajah Laksamana semakin pucat, ketika seseorang tergopoh-gopoh menghampiri Laksamana dan mewartakan, “Kapal selam harus tertambat untuk seminggu ke depan, Laksamana.” Tergopoh-gopoh, Laksamana meninggalkan meja dan rum yang berceceran.

Aku mengikuti Laksamana ke luar. Laksmana tampak beradu mulut dengan seseorang di sisi sebuah kapal selam yang tertambat. Keduanya tampak meradang. Orang itu meninju Laksamana. Laksamana balas meninju orang itu dan mencakar wajahnya. Darah mulai berceceran. Raut Laksamana membuas. Aku bersumpah hidungnya berdenyut dan gigi taringnya menjadi lebih panjang dan tajam. Aku menenggak rum yang terbawa sesloki lagi untuk meredakan tegangku.

***

Malam ini bulan purnama. Musim masih dingin dan siang masih kelabu. Aku melihat Laksamana berdiam di galangan menatap laut. Aku menawarkan botol rum yang langsung ditenggaknya. Kami berdiri berdampingan dalam hening ketika dia memecahkannya, “Malam nanti purnama, ya?”

“Ya.”

“Kapalku masih belum beres benar.” Aku menenggak botol rum yang kemudian ditenggaknya. Dia kemudian beranjak, dan aku masih berdiri di galangan. Malam itu, sebuah kapal layar telah dicuri, disusul dengan pasang tinggi dan lolongan yang datang dari tengah lautan. Siang esoknya, ditemukan sebuah kapal layar yang terdampar dalam keadaan tercakar-cakar dan berceceran darah. Dengan tangan bergetar, aku menenggak satu botol rum.


Discover more from Kasat Kata Kultur

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a comment