Dendam Mana Ditempa

Dendam Mana Ditempa

Lelaki itu kami temukan membungkuk di perempatan. Tangannya berkali-kali menempa beberapa utas kawat dengan batu. Dia tidak mengamen, tidak pula mengasong. Berkali-kali kami melewatinya, selalu dalam keadaan yang sama: membungkuk dan menempa kawat. Pernah coba kami tanya ke pengasong dan pengamen di sekitarnya, kira-kira dari mana dia berasal. Tidak ada yang mengaku tahu, semua melihat lelaki ini muncul suatu hari dan mulai menempa beberapa utas kawat.

Kami melewatinya selalu di jam yang sama: sembilan pagi saat kami berangkat, dan empat sore setelah kami pulang. Dia seperti tidak bergerak, bak pertapaan di tengah deru najis orang kota. Kami kemudian tanyakan ke pengasong dan pengamen di sekitarnya, “Dia mulai biasanya jam berapa?” Tidak ada yang mengaku tahu, mereka semua bilang bahwa lelaki ini sudah ada sejak mereka datang ke perempatan dan masih bergeming setelah mereka bubar. Kami tanya lagi, “Kalian tahu dia tidur di mana?” Tidak ada yang mengaku tahu, mereka semua bilang mereka terlalu letih di jalan untuk mengurus perkara orang lain.

Suatu waktu, kami menemuinya tidak membungkuk dan masih menggenggam kawat serta batunya. Dia berdiri beberapa langkah dari tempat biasanya membungkuk. Kami menoleh, oh rupanya sedang ada yang mendiami. Kami tidak pernah melihat mereka sebelumnya. Dan dari gelagatnya, sepertinya mereka merundung lelaki itu. Mulanya bisik-bisik, lelaki itu diam. Kemudian melantang, lelaki itu geming. Karena diamnya, maka mereka gusar. Lelaki itu masih diam. Mereka melempar botol plastik dengan cairan kuning pekat dan tepat pecah di wajah lelaki itu. Lampu sudah hijau, ketika kami suam-suam mendengar, “Minum noh pipis gue!”

Esoknya, kami melihatnya kembali membungkuk. Kasa berwarna kecoklatan dan jelaga menguliti lengannya. Wajahnya sedikit pucat. Namun ritme tempanya masih sama. Sorenya, kami masih menemukan sosok yang sama. Hingga berhari-hari. Berulang-ulang.

Pagi ini, salah satu dari kami baru saja menuntaskan koran sebelum berangkat. Di warta daerah, kepala berita mewartakan ditemukannya beberapa sosok mayat yang mati tercekik. Tidak ditemukan senjata membunuh dan pembunuhnya. Kami menghela nafas, kemudian berdoa dan menyalakan dupa bagi setiap arwah yang melayang di kota kami hari ini. Kami kemudian bersiap berangkat ke toko. Lihat, lelaki itu masih di tempatnya. Membungkuk dan menempa kawat dengan batu.

Malam ini, kami terpaksa pulang larut. Klien kami baru selesai urusannya pada lanjut hari. Kami kemudian pulang, menduga bahwa perempatan kini sudah kosong. Tak dinyana, kami melihat lelaki itu. Masih menempa dan membungkuk. Kami saling menatap, bertanya-tanya, apakah ia tidak tidur dan tidak makan? Belum selesai kami mendiskusikan perihal keadaannya, dia kemudian bangkit. Dia berjalan menjauhi perempatan dengan kawat dan batu masih di genggaman. Kami menancap gas mobil, menyusulnya, dan berhenti tepat di sampingnya. Salah satu dari kami bertanya, “Di mana kamu tinggal?” Dia terdiam sejenak sembari menatap kami. Sepertinya memeriksa wajah-wajah kami.

“Di ujung jalan ini, di limpitan jalan layang dan bangunan yang ditinggalkan,” jawab lelaki itu.

“Apakah kamu punya pekerjaan?”

“Tidak.”

Kami terdiam. Salah satu dari kami menyerahkan sejumlah uang, “Ini. Pakailah buat makan minggu ini.” Dia menerimanya dengan takzim, tanpa suara. Hari sudah begitu panjang, kami harus bergegas pulang dan istirahat.

***

Urusan di toko kami rasanya semakin alot dan rumit. Kenalan kami belakangan sudah mulai kehilangan kepentingan untuk berurusan dengan kami. Kami juga tidak merasa perlu untuk memanjangkan urusan dengan mereka. Ini bisa jadi masalah untuk bisnis. Kami memang belum benar-benar tumbang, tapi pertumbuhan yang minus ini bisa jadi urusan yang memusingkan di masa depan. Kami belakangan ini pulang dengan kalut, dan mengandalkan lelaki di perempatan itu untuk hiburan.

Hingga suatu hari, salah satu dari kami mengadu. Salah satu kenalan kami tahu soal bisnis kami yang mulai sepi, kemudian menawarkan peluang ekspansi. Syaratnya, katanya, salah satu dari kami harus siap menemaninya tidur empat hari dalam seminggu. Tentu, kami geram mendengarnya. Kami menyalakan dupa dan memohon perlindungan, karena ada sesuatu yang harus dilakukan pada minggu ini. Pulang dari toko, kami menghampiri lelaki penempa kawat itu.

“Kamu bisa menggergaji?” kami bertanya.

“Bisa jika disediakan gergajinya,” jawab lelaki itu.

“Kamu bisa menggerinda?”

“Bisa jika disediakan gerindanya.”

“Kamu bisa mengecat plitur dengan rata?”

“Bisa jika diajarkan caranya.”

“Kapan kamu bisa kerja?”

“Secepatnya.”

***

Kami menyalakan dupa sebelum berangkat ke toko. Salah satu dari kami bercerita soal kepala berita warta lokal tentang matinya salah satu kenalan kami. Jasadnya terpotong-potong dengan rapi, kata berita. Kami sampai di toko, ketika kami melihat lelaki itu sedang memplitur dan menuntaskan produk yang siap kami jual.


Discover more from Kasat Kata Kultur

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a comment