Diterjemahkan dari esai Léopold Lambert dalam THE FUNAMBULIST PAMPHLETS///VOLUME 2: FOUCAULT
Diagram: dari Bahasa Prancis Kuna diagramme, dari Bahasa Yunani, dia berarti ‘seberang/melewati’, gramma berarti ‘ihwal tertulis, aksara, ditandai oleh garis, figur geometris, daftar termaktub, catatan, rentang skala dalam musik. (Geom.)’ Sosok yang terdiri dari garis, untuk menggambarkan definisi dan pernyataan, atau untuk membantu membuktikan sebuah proposisi. Sosok ilustratif, yang mana, tanpa mewakili tampilan tepat dari sebuah obyek, memberi rangka atau skema umum akannya, agar menampilkan bentuk dan relasi antara bagian-bagiannya yang beragam. Rangkaian garis, tanda, atau salinan yang secara simbolis mewakili alur atau hasil dari segala bentuk tindakan atau proses, atau variasi yang menggambarkannya. Penggambaran yang digunakan untuk menyimbolkan proposisi-proposisi abstrak yang saling terhubung atau cara kerja nalar.
(Oxford English Dictionary, dikutip oleh Anthony Vidler, Diagrams of Utopia dalam The Activist Drawing, Cambridge. MIT Press. Anno MCMXCIX.)
Diagram merupakan bagian dari pedagogi mazhab-mazhab serta praktik arsitektur, terlebih di Amerika Serikat, Peter Eisenman memperkenalkan diagram sebagai generator utama dari arsitektur. Banyak arsitek menggunakan lema diagram dalam pengertian yang lebih luas: sebuah gambar. Diagrams of Utopia (Ragam Diagram Utopia), sebuah esai dari Anthony Vidler, dekan menjabat dari Cooper Union School of Architecture dalam The Activist Drawing yang disunting oleh Catherine de Zegher dan Mark Wigley, memfokuskan pada kota utopia anti-kapitalis bernama New Babylon, yang dirancang oleh situasionis berkebangsaan Belanda bernama Constant Niewenhuys pada tahun 1959-1974.
Mengutip Charles Sanders Peirce, Vidler menyetujui bahwa, “diagram, utamanya adalah ikon, dan ikon untuk relasi yang tidak mudah dibaca dalam konstitusinya akan Obyek.” (The Collected Papers). Ihwal tersebut merancukan ‘yang asli dan salinannya’ sehingga diagram adalah ‘instrumen untuk menangguhkan realitas’. ‘Mimpi murni’ ini dapat diasosiasikan dengan ide tentang utopia yang mewakili dirinya melalui garis-gemaris skematis organisasi. Membangun arsitektur dengan diagram sama problematisnya dengan membangun masyarakat dengan Utopia. Keduanya membutuhkan perangkat tersebut, pun tidak lepas dari bahayanya, mengingat garis diagram tidak bersetelan tebal dengan ketidakpastian manusiawi. Lebih lagi, sebuah diagram cenderung menarik garis berdasarkan pengalaman akan sunyata, namun garis-garis ini, ketika mewujud, menekankan pengaruh transendental atas sunyata.
Dalam ringkasan berikut, Vidler mendasarkan pemikirannya atas kajian Deleuze mengenai Foucault yang bisa jadi adalah arkeolog diagram paling akurat. Vidler juga secara singkat mencetuskan apa yang ia sebut sebagai anti-panoptikon, House of Lubricity (Griya Pelicin) yang pernah dipikirkan oleh Marquis de Sade:
RAGAM DIAGRAM UTOPIA (ringkasan) dalam The Activist Drawing, disunting oleh Catherine de Zegher dan Mark Wigley. Cambridge: MIT Press, 1999 ///
Oleh Anthony Vidler
Namun mungkin penggunaan paling berdaya dari diagram pada mula modernisme adalah apa yang dipakai oleh non-arsitek—pengacara, filsuf, dan ahli teori sosial—untuk menjelaskan ragam bentuk organisasi berdasarkan relasi-relasi spasial yang darinya, dibayangkan, mendukung atau malah memunculkan gambaran tentang tata sosial yang diinginkan. Dus, Panoptikon Bentham, dikenali sejak Foucault sebagai sebuah contoh arsitektur awal mula atas budaya pengawasan (surveillance culture). Foucault sendiri menggunakan pola tersebut sebagai model atas diagram performatif, sebuah “abstraksi berjalan dari setiap halangan atau gesekan…dan perlu dilepaskan dari penggunaan spesifik”. Ihwal tersebut merupakan representasi seluruhnya atas “sesuatu” dengan konten spesifik (narapidana) dan atas “fungsi” dengan jangkauan umum atas masyarakat sebagai kesatuan. Maka, diagram tersebut adalah spesifik, dalam arti secara tepat memetakan ruang pembatasan atas individu, dan sekaligus universal, dalam arti (tidak secara tepat) merujuk pada keseluruhan rezim sosial. Sebagaimana bila diagram dari tata feodal, dengan kastil di tengahnya, lahan-lahan yang dipanen dan pondok para udik di periferi, telah memetakan sistem pengorganisasian feodalisme secara utuh.
Di sini saya mengikuti argumen menggugah dari Gilles Deleuze dalam studinya atas Foucault, di mana diagram menjadi fenomena terpusat tidak hanya dalam memetakan buah pikir Foucault, tapi juga Foucault itu sendiri, namun juga dalam memahami organisasi sosial modern in toto (secara total). Bagi Deleuze, letak pentingnya diagram terdapat pada bagaimana diagram “mengkhususkan” relasi antara masalah yang belum-terbentuk/belum-terorganisir dan fungsi yang belum-teresmikan/belum-final melalui caranya yang khas; yaitu, menggabungkan dua rezim digdaya, berupa rezim ruang (kasat) dan rezim bahasa (tak kasat tapi merupakan sistem yang mudah ditemui). Diagram, dalam nalar Deleuze adalah sejenis peta/mesin—sebuah abstraksi spasiotemporal (ruang-waktu) yang “menolak pembedaan formal antara isi dan ekspresi, antara formasi diskursif dan nondiskursif.” Diagram, tulisnya, “nyaris merupakan mesin yang hening/dungu dan buta, walau pun ia adalah sebab dari penglihatan dan lisan”:
Jika ada banyak fungsi diagramatis dan bahkan material di luar sana, adalah karena setiap diagram adalah kebergandaan spasiotemporal. Namun hal itu juga karena telah begitu banyak diagram sebagaimana banyaknya lahan sosial dalam sejarah. Ketika Foucault membangkitkan ide tentang diagram, ide tersebut terhubung dengan masyarakat modern terdisiplinkan di sekitar kita, di mana kuasa membagi seluruh lahan dalam petak-petak: jika ada sebuah model untuk ihwal tersebut, adalah model sawan yang mencacah kota yang sakit dan menjangkiti hingga ke detil terkecilnya. Ada diagram yang selalu pantas untuk setiap tingkatan tata sosial—untuk pabrik, teater, monarki, dan rezim imperial. Lebih lagi, setiap diagram tadi saling terhubung—mereka saling merangsek masuk satu sama lain. Hal ini karena diagram tersebut sangatlah cair atau tidak stabil, tidak pernah berhenti membuat materi atau fungsi sehingga dapat disebut sebagai mutase. Akhirnya, setiap diagram adalah antarsosial dan dalam tahap kemenjadian (a state of becoming). Diagram tersebut tidak pernah berfungsi untuk mewakili dunia yang sudah ada; ia memproduksi sebuah tipe realitas baru, sebuah model kebenaran kiwari. Ia tidak tunduk pada sejarah, pun juga tidak menggantung di atas sejarah. Ia menciptakan sejarah dengan membongkar kenyataan dan penandaan (significations) yang telah dulu ada, meletakkan banyak sekali titik-titik kemunculan atau kreativitas, atas konjungtur tak terduga, atas kontinuum tak mungkin. Ia menggandakan sejarah dengan kemenjadian [avec un devenir].
(Deleuze. Foucault. 43)
Adalah potensi mutasi berikut, atas transformasi tanpa akhir dan kemenjadian, yang menjadikan diagram bagi Deleuze, sebagaimana bagi Guattari, sebuah perangkat yang sangat transgresif. Sebagaimana apa yang dicatat belakangan oleh Gary Genosko, diagram tersebut mengatur jalan kabur dari linguistik murni ke zona spasial tanpa teritori: “Mesin-mesin tanda diagramatis melampaui sistem simbolik dan semiologi penandaan yang terpetakan dengan menampilkan sejenis keengganan dalam relasinya kepada referennya, melepas kebergandaan makna, dan menghindari dampak penandaan lateral.” Diagram kemudian menjadi tak tahu aturan, mereka “tidak bertindak sebagaimana tanda-tanda yang terbentuk dengan baik dalam sebuah sistem penandaan universal dan gagal untuk melewati dialogisme simulakral atas model-model ideal komunikasi secara halus.” Dalam nalar tersebut, apa yang tampak sebagai “aljabar bahasa yang tandus” dalam bentuk diagram melayani “pragmatik bila tak-sadar” Guattari dan darinya praktik sosial yang berontak: diagram, dalam nalar ini, secara definisi adalah utopis.
Dalam konteks ini, kita mungkin dapat menunjuk kepada sebuah diagram pada mula modern yang bertindak begitu nakal, disketsa oleh Marquis de Sade sebagai sejenis kontra-panoptikon—House of Lubricity (Griya Pelicin). Hal ini, dapat dibilang, bentuk institusional dari wacana pornografis tanpa akhir dari 120 Days of Sodom, yang di dalamnya ada penampilan teatrikal dalam sebuah “adegan”, yang ditandai oleh Roland Barthes, sebagai sebuah maha diagram atas bahasa itu sendiri. Di sinilah dasar formal atas lembaga-lembaga baru dan diduga utopis; dan di sinilah kita dapat melihat relasi intim dari diagram utopis dengan pendahulunya: ia meraih signifikansi ikonis, dengan merujuk kepada apa ia yang secara gamblang tidak berbarengan mengingat ia membentuk diagramnya sendiri dengan referensi kepada mutasi atas anti-modelnya sendiri.
Ditulis pada 3 April 2011





Leave a comment