Kami Hanya Punya Diri Kami Sendiri dan Masyarakat Nurani untuk Benar-benar Membebaskan Diri

Kami Hanya Punya Diri Kami Sendiri dan Masyarakat Nurani untuk Benar-benar Membebaskan Diri

Diterjemahkan dari esai Susan Abulhawa yang terbit dalam Middle East Eye edisi Musim Panas 2014, diterbitkan ulang oleh Literary Hub pada 16 Mei 2018. Isi esai ini masih relevan hingga diunggah di laman ini.

Kala orang-orang Palestina mengucur darah dan terbakar di kegelapan tanpa air, tempat berteduh, obat dan pangan yang cukup di bawah pembantaian barbar Israel, propaganda Israel berdentam penuh daya ke seluruh penjuru dunia, lebih-lebih di media barat, dan daftar langganan politisi Amerika Serikat serta mogul-mogul media sebagai pemirsa yang berhasrat. Perbincangan utamanya adalah untuk menyalahkan para korban. Adalah bit-bit suara sinis dan suriil yang ditelan mentah-mentah oleh banyak orang, tanpa tedeng aling-aling.

Selalu setia kepada Israel, Bill Clinton, merangkum poin-poin perbincangan warga Israel, bahwa “[Hamas telah] mempunyai strategi untuk memaksa Israel membunuh warga sipilnya sendiri.” Mungkin Clinton sedang mencoba untuk menggelar karpet politik dengan AIPAC untuk istrinya yang sedang maju sebagai kandidat presiden, namun sinisme buruk pernyataan tersebut berkualitas amat rendah setara propaganda terburuk sejak Goebbels. Seperti, berujar bahwa perempuan dengan pakaian ketat memaksa laki-laki untuk memperkosanya. Tidak ada yang memaksa Israel untuk membunuh warga sipil tak bersenjata di dalam rumahnya. Tak ada yang memaksa mereka untuk menjatuhkan bom di rumah sakit, pusat rehabilitasi, badan pengelolaan air, toko roti, dan anak-anak yang bermain sepak bola di pantai. Mereka melakukan semuanya sendiri. Senang hati dan sengaja sekali. Mereka menggunakan senapan dan peledak dan pesawat dan kapal tempur dan pesawat nirawak dan penembak jitu dan dengan sukarela melawan populasi warga sipil tanpa pertahanan di salah satu wilayah berpopulasi paling padat di dunia. Bersama dengan Mesir, mereka memperketat semua perbatasan, sehingga tidak ada lagi tempat untuk kabur atau berlindung. Tak akan ada bantahan soal fakta terang benderang.

Mereka punya perangkat keras militer dan pengawasan paling rumit di seluruh dunia dan mereka dapat melihat dengan jernih apa yang mereka sasar. Sulit membayangkan bahwa kapal tempur Israel bisa saja salah mengenali empat anak yang bermain bola di pantai yang luas terbuka. Jika mereka membuat sebuah kesalahan pada tembakan pertama (dalam asumsi paling murah hati), serangan senjata api kedua—kala bocah-bocah berlari ketakutan—jelas bukan kesalahan. Penembak jitu ini pun, menyaksikan bahwa dirinya menembak mati seorang pria tidak bersenjata yang mencari keluarganya di dalam reruntuhan selama dua jam gencatan senjata.

Orang Palestina telah melakukan semuanya. Kami telah memilih perlawanan, selalu, dalam segala bentuknya. Kami melawan karena itulah hak kami.

Benjamin Netanyahu telah diberikanwaktu tayang berjam-jam untuk menumpahkan pesan-pesan bohong, rasis, dan melecehkan ke dalam ruang-ruang keluarga di penjuru Amerika Serikat. Pernyataannya yang paling nekad dan tolol adalah pernyataan bahwa ia merasa sangat sedih telah membunuh banyak orok bayi; bahwa Israel mencoba untuk melindungi warga Palestina namun Hamas mendorong mereka ke tengah-tengah baku tembak. “Pilihan apa lagi yang kami punyai?” tanyanya. Kemudian, mengiklankan gambaran kolonial dari warga pribumi biadab, berujar bahwa warga Palestina ingin semakin banyak yang mati, agar bisa ditampilkan di televisi. Bahwa Hamas menggunakan “warga-warga mati pantas-tayang,” untuk perjuangan kami. Isyaratnya bahwa warga Palestina, tidak seperti seluruh makhluk di muka bumi, kekurangan dorongan manusiawi untuk melindungi anak-anak kami sendiri. Buruknya lagi, Wolf Blitzer (terkenal sebagai Zionis dan pendukung Israel) tidak berkata apa pun untuk membantah propaganda terang-terangan tersebut.

“Apa yang Bakal Kamu Lakukan?”

Media barat terus-terusan membingkai pembantaian histeris yang dilakukan oleh Israel sebagai bela diri. Dana dikucurkan ke kampanye-kampanye dengan gambar roket-roket yang menghujani kota-kota di sebelah barat dengan takarir “Apa yang bakal kamu lakukan?” Baiklah, aku juga ingin bertanya, “Apa yang bakal kamu lakukan” jika penjajahan militer menyegelmu dan orang-orang yang kamu cintai, ke dalam lubang sempit, di mana kebutuhan paling mendasar untuk hidup tidak diperkenankan masuk? Di mana kamu tidak dapat kabur atau bahkan punya harapan untuk kabur, sama sekali? Di mana kapal tempur menembakimu dan menenggelamkan kapalmu jika kamu mencoba untuk memancing di lautan milik Tuhan? Di mana kamu harus menggali terowongan di perut bumi dan merangkak dalam kondisi membahayakan laiknya hewan berkerat untuk menyelundupkan buku, diaper, pasta, dan pensil? Di mana kamu menjadi subyek dari eksekusi tanpa pengadilan, pengeboman berkala, air minum tercemar, penculikan, dan penangkapan semena-mena? Apa yang bakal kamu lakukan jika kamu kamu jadi sasaran penggerebekan malam, titik periksa tak berkesudahan, dan pelecehan sehari-hari dari para tentara dan penduduk gila dari Brooklyn yang datang untuk mengklaim rumah dan warisanmu laiknya hadiah real estate ilahi karena Tuhan lebih mencintai mereka? Apa yang bakal kamu lakukan jika anakmu dipaksa meminum bensin dan kemudian dibakar hidup-hidup karena dia terlahir di keluargamu yang, menurut aturan negara, tidak pantas akan hak setara. Seperti manusia hina dina dari tuhan yang mahahina.

Apa yang bakal kamu lakukan jika kamu harus menghabiskan dua jam perjalanan di jarak yang seharusnya makan waktu sepuluh menit, hanya karena kamu tidak diperbolehkan mengambil jalan tertentu? Jika penanda identitas dengan kode warnamu hanya mengijinkan pergerakan di radius yang teramat kecil dan kamu akan dipenjara jika kamu tertangkap berada di luar wilayah gerakmu? Apa jadinya jika kamu tidak dapat bekerja, jika kamu dipalangi dari beribadah di kota paling sucimu yang berjarak hanya 10 menit dari rumahmu? Apa jadinya jika anak-anakmu, semuda umur sepuluh tahun, dijemput oleh tentara dengan persenjataan lengkap untuk diinterogasi sendirian, dipenjara, disiksa, dipaksa untuk menandatangani pengakuan dalam bahasa yang tidak bisa mereka baca dan dipenjara oleh pengadilan militer? Apa jadinya jika rimbunan zaitun milik keluarga turun-temurun dirampas oleh negara atau dibakar oleh para penduduk ilegal, penghidupanmu dan sejarahmu dihapus begitu saja? Apa jadinya jika kamu dipaksa minggat dari rumahmu untuk masuk ke tenda pengungsian agar Yahudi di seluruh dunia dapat menduduki rumahmu dan punya negara ekstra, kependudukan ganda, satu di kampung halamannya dan satu di rumahmu? Apa jadinya jika seluruh bangsamu diteror dan dibikin babak belur karena seseorang membunuh tiga penduduk Yahudi, yang bahkan buktinya tidak pernah muncul dan persidangannya tidak pernah digelar? Jika pemimpin dari penjajahan militer ini dalam tahta-tahta tingginya memanggil darahmu dan darah keturunanmu, yang mereka juluki “ular cilik,” dan para cendekianya menyerukan pemerkosaan atas ibumu dan saudarimu untuk menghalangimu melawan balik?

Apakah kamu bakal melempar kerikil dan molotov ke arah tank-tank lapis baja mereka? Apakah kamu akan meluncurkan roket ke arah kubah besi mereka? Apakah kamu akan menggelar arak-arakan damai mingguan melawan tembok semen yang membelah desamu? Apakah kamu akan memboikot, berdivestasi, dan menerapkan sanksi? Apakah kamu akan bernegosiasi dengan penyiksamu untuk kebebasan dan ihwal-ihwal yang tidak bisa dinegosiasikan? Apakah kamu akan mengemis pada PBB? Pergi ke pengadilan? Menulis esai seperti ini untuk telinga-telinga yang tertutup?

Hak untuk Melawan

Warga Palestina telah melakukan semuanya. Kami telah dan selalu memilih perlawanan dalam segala bentuknya. Kami melawan karena itulah hak kami. Karena kami adalah orang-orang pribumi atas tanah kami dan kami tidak memiliki dan punya tempat lain untuk pergi. Karena orangtua kami, kakek-nenek kami, buyut-buyut kami, dan seterusnya dimakamkan di tanah ini. Karena kami benar dan perjuangan kami benar. Kami melawan dengan pasif dan aktif. Kami melawan dengan kekerasan dan damai. Adalah hak legal dan moral kami untuk melawan melalui berbagai cara yang tersedia bagi kami bila dihadapkan dengan apa yang lebih akurat disebut sebagai “genosida inkremental.” Kami telah melakukan segalanya untuk meraih harga diri manusiawi yang paling sederhana. Kami menyerahkan hak etnis, budaya, moral, sejarah, dan legal kepada 78 persen dari Palestina Historis untuk dapat membentuk sebuah negara di 22 persen sisanya, di mana Israel tidak dapat mengklaim kedaulatan se-iota pun.

Para adidaya di planet ini menyalahkan kami atas penderitaan kami sendiri. Mereka berdiri di belakang Israel, seonggok negara teroris penjajah yang dipersenjatai dengan mesin kematian paling canggih, dan menyerukan kami untuk melucuti ‘senjata.’

Namun Israel tidak pernah bertindak dengan niatan baik, malah memilih untuk menjajah lebih dari setengah wilayah dalam jangka waktu saat kami mencoba menegosiasikan kenegaraan. Kini beberapa warga Palestina memilih untuk mengangkat senjata lagi. Walaupun roket dari Gaza hanya seperti kembang api yang tidak melukai siapapun, menembakkannya adalah masuk akal belaka. Jika gangguan minimal atas keseharian normal penduduk Israel adalah apa yang bisa kami lakukan, maka itulah yang harus kami lakukan. Jika apa yang bisa dilakukan kebanyakan warga Palestina adalah mengganggu pasangan penduduk Israel untuk menikmati satu hari di pantai, gym atau kafe ketika mereka mencerabut lengan dan kaki anak-anak kami, maka itulah yang harus kami lakukan. Roket-roket ini adalah tanggapan simbolik dan radikal akan tekad warga pribumi yang tak terpatahkan untuk terus hidup dengan marwah di kampung leluhur mereka. Hal-hal tersebut adalah tindakan bela diri sederhana dari orang-orang yang berhadapan dengan jahanam yang tercoreng wajahnya oleh kejahatan yang tidak susut dalam 60 tahun lebih.

Ada orang-orang di dunia ini yang tahu apa yang kukatakan. Orang-orang yang telah melalui hidup di bawah telapak kejam, jahat, memalukan sepatu manusia lain. Orang-orang yang bermimpi dan mengkhayalkan manisnya nafas kebebasan dan keadilan. Yang harus melawan dan mati karenanya dan berhadapan dengan kekuatan militer yang jauh lebih superior. Itulah mengapa Afrika Selatan bersama kami. Mengapa warga Irlandia bersama kami. Mengapa Bolivia, Venezuela, Chile, Kuba, Kongo, dan lainnya bersama kami. Warga madani, jika bukan pemerintahnya, di seluruh penjara dunia berdiri bersama kami. Terima kasih, kami haturkan. Terima kasih, saudara dan saudari kami atas solidaritasnya. Kami tidak akan melupakannya.

Ada mereka yang paham apa artinya memilih untuk mati melawan ketimbang mati berlutut. Mengapa para warga Gaza, dalam duka, ketakutan, kegelisahan, dan penderitaan tak terbendung mereka memilih untuk mendukung mugawama, perlawanan. Beberapa lainnya mengingat perlawanan Warsawa, di mana para Yahudi menembakkan kembang api mereka sendiri ke para penyiksa bersenjata lengkap, dan maka, banyak dari saudara dan saudari Yahudi kami di seluruh dunia berdiri bersama kami, menegakkan apa yang terhormat dan manusiawi.

Namun, para adidaya di planet ini menyalahkan kami atas penderitaan kami sendiri. Mereka berdiri di belakang Israel, seonggok negara teroris penjajah yang dipersenjatai dengan mesin kematian paling canggih, dan menyerukan kami untuk melucuti ‘senjata.’ Kami tahu bahwa pemerintah yang sama akan dengan segera mendorong ekspor persenjataan Israel, yang kini dapat diklaim dengan label lukratif: “Teruji Lapangan.” Kami tahu bahwa mereka tahu Israel menggunakan tubuh-tubuh warga Palestina sebagai sepah untuk profit.

Kami juga tahu, lebih terang benderang sekarang, bahwa kami hanya punya diri kami sendiri dan masyarakat nurani untuk benar-benar membebaskan diri. Gaza mengajarkan kami hal tersebut setiap hari. Gaza juga mengajarkan kami untuk menyingkirkan perbedaan dan bersatu sebagai warga.

Kami juga tahu bahwa ihwal telah berbalik dengan gegas di belahan dunia kami. Israel tidak cukup lama di sini untuk memahami kebenaran dasar dari tanah ini. Suatu saat, matahari akan menyinari Palestina kembali dan ia akan menjadi tempat yang pluralistis, jamak agama, dan jamak budaya sebagaimana ia ada sebelum Israel. Inilah kedamaian yang kami perjuangkan. Kami berjuang untuk damai keadilan dan marwah yang menghidupi kehidupan serta harapan akan menjadi manusia tanpa mempedulikan latar agama atau ihwal manasuka lainnya. Suatu saat kami akan memilikinya. Kami akan berenang kembali di pantai Haifa, menonton ombak menghantam dinding Akka. Kami akan memancing sejauh mungkin dari Gaza. Kami akan berdoa di Al-Aqsa dan Gereja Makam Kudus. Kami akan memanen jeruk di Jaffa, anggur di Hebron, dan zaitun di mana-mana. Gambar bapak-bapak tua itu, Muslim dan Yahudi dan Kristen, bermain kartu di Yerusalem, akan menjadi kenyataan suatu saat nanti. Dan kami akan menghormati mereka yang meninggal, bertarung, bertahan, dan membayar harga dari semuanya.


Esai ini kuterjemahkan dalam rangka gelaran #ReadPalestine (Read Palestine Week) yang berlangsung dari 29 November hingga 5 Desember 2023 dan didukung oleh Publishers for Palestine. Sepanjang minggu, mereka akan meluncurkan berbagai bahan bacaan dari, tentang, dan oleh penulis Palestina. Mereka juga akan mengadakan berbagai sesi klub buku daring. Cek situs mereka di https://publishersforpalestine.org/


Discover more from Kasat Kata Kultur

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a comment