Pertapaan
di banyak lidah, kamu
punya banyak nama.
dari leher, pinggang, hingga tumit;
khatulistiwa atau kepalang bukan,
kepal kepala menulis hikayatmu.
yang asih, yang luhung, yang ayom.
kisah kita selalu diceritakan
sebagai awal mula.
hikayat cinta seorang naungan
dan hayat tumbuh di tubuhmu.
kita biasa saling mendekap
bersedekap pasak dan angin
tarik-menarik: aku mengenalmu,
dan kamu menjagaku.
Peratapan
Mulanya tercatat di tulang kering,
kemudian daun lontar, kemudian
batu, kemudian papirus, kemudian
zarah kaca dan plastik mencetak
segala yang terlintas rata di
tengkorakmu.
Di lintang tengah bola bernama
debu ini kau jaga atap yang disangga
dengan pasak-pasak api dengan
paru-paru rindang: menjaga kami agar
tidak terpanggang sengat ruang hampa.
Sekongkol para saudagar merapat pada
wajahmu; lidah mereka merayu
merencanakan bongkahnya tubuhmu
bertahun, berbilang windu di lintas kalender.
Laba, lestari, kuasa, dan harmoni
bertemu di persimpangan. siulan,
hentakan, dan raungan mengisi
lajur-lajur di prapatan yang merah,
kuning, dan hijaunya menentukan nasib.
Kau sembunyikan dirimu dalam
pertapaan dan air mata serta gumam,
“berhenti, berhenti, sudahi,”
pada telinga-telinga yang sumpal
dan seenaknya sendiri.
Di matamu, kini terbayang sebuah kuil
di mana setiap insan dengan daun salam
terakhir di mulutnya menggumam
ratapan, maaf, dan selamat tinggal;
serta setetes air garam yang menguar
dari kedua mata keringnya.
Leave a comment