Joged Amerta Demi Keseimbangan Ekologi

Joged Amerta Demi Keseimbangan Ekologi

Penggalian atas praktik agrikultural berkelanjutan (sustainable) semakin gencar rasanya, apalagi di era krisis iklim dan ekologi. Tidak cuma metode, praktik ‘hijau’ ini menyentuh pula falsafah dan pendekatan yang holistik dan alami. Salah satu di antaranya adalah biodinamik. Biodinamik melihat lahan sebagai organisme yang berdetak dan menghidupi dirinya.1 Konsep ini menarik minat para warga sebab penekanannya pada keselarasan ekologis.

Ditarik secara paralel, Joged Amerta punya kedekatan dengan biodinamik. Joged Amerta merupakan praktik dari Jawa yang memadukan gerakan dan meditasi yang mawas sadar (mindful) dan munasabah (attunement) lingkungan.2 Joged Amerta menawarkan sudut pandang yang unik untuk menjelajahi konsep biodinamik lewat falsafah eko-somatis. 

Eko-somatis merupakan filsafat yang meluruhkan ide tentang individualisme dan cara berpikir biner. Filsafat ini berusaha meruntuhkan ide yang hanya melayani sistem yang menekan dan membuat kita kebas terhadap diri kita sendiri serta lingkungan. Eko-somatis mendorong dekolonisasi ekologi dengan memetakan ulang (repatterning) pengetahuan kita atas alam.3 Dengan mengintegrasikan kesadaran indrawi serta membadan—yang dipraktikkan Amerta, ke dalam kerangka biodinamik, para praktisi dan warga punya potensi untuk membuka matra-matra baru dalam memaknai keberlanjutan, kreativitas, dan timbal-balik dengan Bumi.

Joged Amerta dicetuskan oleh praktisi dan seniman gerak, Suprapto Suryodarmo. Praktik ini merupakan amalgam tradisi Jawa—Sumarah, praktik Vipassana, dan Buddhisme Theravada.4 Dalam jiwanya, Amerta adalah ‘melebur’ —melarut batasan-batasan yang dipersepsikan antara jasad, pikiran, dan lingkungan. 

Para warga melibatkan diri dalam gerakan yang meditatif, seringnya dengan berlatar alam, untuk menumbuhkan tingkat ‘kehadiran’ yang lebih tinggi. Praktik ini, dinamai ‘kemawasan terbuka’ (open awareness)5, mendorong para warga untuk memahami dirinya sebagai bagian dari jejaring ekologis yang dinamis, alih-alih sebagai pengamat yang berjarak.

Inti dari Amerta adalah pendekatan eko-somatis, yang menekankan jasad sebagai medium relasi ekologis. Melalui gerakan yang lamban namun intensional—seperti berjalan, duduk, atau merespon angin dan medan—para praktisi mengembangkan empati kinestetik6, sebuah perasaan saling-ketergantungan dengan sekitarnya. Kemawasan somatis ini menumbuhkan pemahaman yang lebih dalam terhadap ritme alami, dari siklus musiman hingga aktivitas mikrobial, menyelaraskan perilaku manusia dengan sistem ekologis.

Biodinamik, dipioniri oleh Rudolf Steiner di tahun 1920-an, memperluas pertanian organik dengan memperlakukan tanah, tumbuhan, hewan, dan daya kosmis sebagai sesuatu yang saling terhubung. Praktik kunci biodinamik termasuk kalender penanaman lunar dan ekosistem yang didorong oleh keanekaragaman hayati. Para petani biodinamik bermaksud untuk meningkatkan vitalitas tanah dan ketahanan tumbuhan sembari meminimalisir input dari luar, memandang peran mereka sebagai pelayan alih-alih pengendali alam.

Meski biodinamik unggul dalam metodologi teknis, matra rohani-etisnya dapat menuai manfaat dari praktik membadan yang menjembatani teori dan pengalaman yang dihidupi. Di sinilah falsafah eko-somatis Joged Amerta menawarkan potensi transformatifnya:

Keselarasan Jasadiah terhadap Ritme Alami

Biodinamik tergantung kepada penyelarasan kegiatan agrikultural dengan ritme kosmis, seperti fase lunar. Praktik Amerta dapat membantu para petani untuk membadankan siklus tersebut secara somatis. 

Sebagai contoh, buruh kebun anggur dapat mempraktikkan langkah meditatif di fajar hari agar dapat merasakan waktu panen optimal secara intuitif, melengkapi kalender bulan dengan kearifan badaniah. Memetik anggur kemudian menjadi aktivitas yang penuh kemawasan, yang kemudian dengan sendirinya mempengaruhi kualitas anggur.

Tanah sebagai Pengalaman Somatis

Penekanan Amerta pada keterlibatan taktil bisa saja merevolusi pemantauan kesehatan tanah. Para petani dapat mempraktikkan Amerta dengan menyentuh tanah menggunakan telapak tangan dalam ritual pengkomposan untuk mendeteksi aktivitas mikrobial melalui getaran dan perubahan suhu, menumbuhkan hubungan yang indrawi terhadap kehidupan tanah. Alah bisa karena biasa. Dengan Joged Amerta, tanah semakin diakrabi perilakunya. Sebab akrab, relasinya kemudian menjadi produktif, harfiah dalam panen.

Penuntasan Masalah Secara Kreatif Melalui Gerakan

Tantangan dalam biodinamik, seperti pengelolaan (ingat, bukan pengendalian) hama, seringkali membutuhkan solusi inovatif. Lokakarya gerakan improvisasional dari Joged Amerta dapat membantu para petani untuk terbebas dari cara berpikir yang kaku, menggunakan majas yang terbadankan (e.g. menari bersama turi) untuk mengkerangkai kembali masalah-masalah secara holistik.

Dengan mempraktikkan Amerta, gerak di sekitar menjadi pemahaman mendasar (internalized knowledge). Ritme makhluk lainnya menjadi bagian dari disiplin somatis. Dari situlah pengelolaan hama dan gulma menjadi sistem pengetahuan berbasis bukti dan perilaku. 

Ritual dan Pengembangan Masyarakat

Kedua tradisi tersebut menghargai ritual. Menggabungkan gerak Amerta secara bersama saat musim tanam dan festival panen dapat memperkuat ikatan masyarakat dan meneguhkan etika ekologis kolektif. Hal ini dikembalikan pula pada tabiat dekolonisasi dan kearifan warga (indigenous wisdom). 

Pendekatan eko-somatis dari Joged Amerta mengundang para praktisi biodinamik untuk membayangkan ulang keberlanjutan bukan semata sebagai tujuan teknis, melainkan sebagai pengalaman indrawi yang dihidupi. Dengan mendasarkan prinsip-prinsip kosmik dalam kesadaran jasmani, para petani dapat menumbuhkan tarian kepedulian bersama terhadap Bumi—di mana setiap langkah, nafas, dan gestur selaras dengan ritme kehidupan. 

Joged Amerta dan biodinamik dalam tlatah filsafat memang mensyaratkan perjalanan spiritual dan rasional hingga di ranah tertentu pada ruh dan perilaku individu. Namun, praktiknya membutuhkan komunitas. Komunitas menjadi penting, karena menjalankan laku Amerta membutuhkan daya dukung dan empati. Meniti hubungan dengan orang lain dalam komunitas adalah laku Amerta yang menuntut keseimbangan. Orang lain adalah bagian dari ekologi pula.

Dengan tantangan iklim yang semakin menghebat, praktik integratif bisa jadi penting dalam merawat sistem pangan yang asih dan tangguh. Dengan gerak Amerta, prinsip kasih kepada bumi, kepada sesama, dan pembagian yang adil akan menubuh; menjadikan laku selaras dengan kehendak Bumi. Integrasi Amerta dan biodinamik kemudian menjadi salah satu jalan yang dapat ditempuh bersama untuk membayangkan dunia yang lebih baik di masa depan yang mungkin.

Jalan menuju keseimbangan ekologi memang beragam, dan perlu diakui keragamannya. Warga dengan akses ke teknologi tinggi mungkin melakukannya dengan rekayasa saintifik (scientific engineering), warga lain dengan tenaga dan jaringannya menempuh jalur aktivisme. Warga yang dekat dengan tanah, barangkali bisa memulai dengan menerapkan praktik baik joged Amerta dan biodinamik.

Bergerak itu mendengarkan. Mendengarkan itu bertumbuh. Dengan memeluk etos berikut, biodinamik dengan gerak Amerta dapat berkembang ke dalam bentuk ekologi yang benar-benar holistik—yang mengarifi kebijaksanaan tanah dan jiwa (soil and soul).


  1. Lotter, Donald W. (2003). Organic Agriculture. Journal of Sustainable Agriculture. ↩︎
  2. Bloom, Katya (2006). The Embodied Self: movement and psychoanalysis. Karnac Books ↩︎
  3. Eco-Somatics: A Pathway to Embodied Belonging. 13 Oct 2024. Way of Belonging. ↩︎
  4. CRCS Field Trip to Borobudur: Amerta Movement. 15 Mar 2018. CRCS UGM ↩︎
  5. Tuesday Tip: How to Practice Open Awareness. 27 Apr 2021. Healthy Minds Innovations ↩︎
  6. What is Kinesthetic Empathy? 18 Jan 2022. Rejoice in Motion ↩︎

Discover more from Kasat Kata Kultur

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a comment